MAKALAH MUAMALAH
PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN DAN
AKIBATNYA
Diajukan Sebagai Tugas Mata
Kuliah Muamalah
Dosen Pengampu: Drs. H. Nandi
Rahman, MAg.
Disusun
oleh:
1.
Arini Nur Sa’adah
2.
Ade Nur Yuliana
3.
Cintias Ria Dyanti
4.
Debbi Yuniawati
5.
Zaenal Hadi Kusuma
Kelompok 3
Kelas VI-C
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2012
Kata
Pengantar
Puji
syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya
sehingga materi yang penulis susun ini terselesaikan sebagaimana mestinya.
Disusunnya
makalah ini berdasarkan tugas dari dosen mata kuliah Muamalah yaitu. Bapak Drs.
H. Nandi Rahman, MAg., yang menugaskan penulis untuk membuat materi yang
berjudul, “Putusnya
Ikatan Perkawinan dan Akibatnya”.
Penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Drs. H. Nandi Rahman, MAg, yang telah menugaskan penulis
untuk menyusun materi. Penulis berterima kasih pula kepada orang tua yang telah
membantu dalam hal materil dan non materil.
“Tiada gading yang tak retak’,
demikian pula pada materi yang penulis susun ini. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan masukan-masukan yang membangun, agar penulis lebih mawas diri
dalam menyusun materi-materi selanjutnya.
Akhir kata, semoga materi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Jakarta, Maret 2012
Penyusun
MATERI
PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN DAN
AKIBATNYA
A.
Thalak
1. Pengertian Thalak
Thalak (الطلاق)
menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh
لإطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak
menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan
pernikahan.
Dalil
disyari’atkan talak adalah al-Qur’an, al-Hadist serta Ijma’ Ulama. Di dalam
al-Qur’an secara tegas dan jelas dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 229.
…الطَّلاَقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ.
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikan dengan cara yang baik ….”
Dan juga dalam surah Ath-Thalaaq: 1.
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu ‘iddah itu.”
Sedangkan di dalam beberapa Hadist
diterangkan mengenai problematika talak dan hukumnya, diantaranya hadist
riwayat Ibnu ‘Umar.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ
الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاق
“Perkara
halal yang paling dibenci dalam pandangan Allah adalah talak”
Para Ulama’ sepakat akan kebolehan thalak.
Bila saja keadaan rumah tangga mengalami keretakan dan kesenjangan yang terus
berkelanjutan, tanpa mengenal kata henti, keduanya sama-sama memilih gaya hidup
sendiri-sendiri, tidak ada lagi kekompakan, keselarasan kemauan dan keinginan,
sehingga rumah tangga mereka mendekati kondisi yang amat memprihatinkan maka
pada saat seperti ini pintu talak dibuka untuk keluar dari kesesakan, ketidak
seimbangan kehidupan dan menghilangkan berbagai hal negatif.
2.
Hukum Talak
a. Ketika Harus Berpisah
Perpisahan
yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luas
daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus
mengetahui beberapa masalah yang dibahas dalam ruang lingkup perceraian terlebih
dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang
wanita setelah terjadinya perpisahan.
b. Definisi dan Hukum Talak
Pada
talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu:
1.
Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan),
manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang
semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau
memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri
tidak bisa menjaga kehormatannya.
2. Talak hukumnya sunnah, jika suami atau
sitri atau keduanya sudah tidak sanggup lagi melaksanankan kewajibannya untuk
meneruskan kehidupan berumah tangga.
3. Talak hukumnya menjadi mubah
(diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami
mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya.
Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini
berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap
suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
4. Talak hukumnya menjadi makruh,
ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya
harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata,
‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia
berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’
‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan
Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
5. Talak hukumnya menjadi wajib,
jika terkjadi perselisihan atau percekcokan terus menerus antara suami istri
dan tidak mungkin lagi untuk didamaikan, hanya cerai satu-satunya jalan keluar.
6. Talak hukumnya menjadi haram,
manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan
suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana
akan datang penjelasannya.
c.
Hukum Talak tanpa Sebab
Dari
Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“Sesungguhnya iblis singgasananya
berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat
kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang
lapor: Saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan
apa-apa. Datang yang lain melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika
saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya. Kemudian iblis
mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik setan adalah
kamu.”
(HR. Muslim 2813)
Dalam
hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah
berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap
dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diantara
perbuatan yang disukai iblis.
Iblis
menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang
berada di atas air dan di atas langit ketujuh.
Pada
dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini
disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi
kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu,
salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an
adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir
yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah: 102)
3. Macam-Macam Talak
Berdasarkan buku Fiqh Sunnah (Sabiq,
190: 42-45), dapat disimpulkan bahwa macam-macam talak adalah sebagai berikut:
a. Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua. Dalam talak ini suami
berhak untuk ruju’ selama istirnya masih dalam masa iddah dengan tanpa perlu
akad baru. Firman Allah QS. Al-Baqoroh: 229
b. Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat
untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru.
Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang
berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh
Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak
ba’in kubraa
adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali
bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian
ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini
terjadi dalam talak tiga.
c. Talak sunni adalah talak yang dibolehkan karena dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan Rosul SAW, yakni talak dijatuhkan ketika istri dalam kedaan
suci dan belum dicampuri, kecuali istri telah hamil dan bukan sekaligus
dijatuhkan talak tiga. Jadi talaknya berurutan, sesuai bilangan talak.
d. Talak Bid’i atau Bid’ah
adalah talak yang dilarang dalam Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa talak
ini sah. Tetapi segolongan ulama berpendapat talak tersebut tidak sah. Hokum
bagi yang melakukannya adalah haram dan pelakunya berdosa, yakni; talak yang
dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haid, atau suci tetapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut; talak bersyarat atau dijadikan sumpah; talak tiga
sekaligus.
B.
Ila’
1.
Pengertian la’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah
takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang
dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan mencampuri istri.
Menurut Rijal (1997: 250) ila’ adalah sumpah
suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa
ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam (2000: 180) ila adalah sumpah
suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan
ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu
tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan
statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak
dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam (1996: 410) ila artinya
sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat
bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut,
hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya,
sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat)
saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim
berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta
berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau
menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan
mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami
tidak kembali (tidak campur), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh
talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah: 226-227
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ
أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya
diberi tangguh empat bulan (lamanya) kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan
jika mereka berazam (bertetap hari untuk) thalak, maka sesungguhnya Allah SWT
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.
Cara kembali dari Sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat
di atas ada tiga pendapat:
·
Kembali dengan mencampuri istrinya itu,
berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut
sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak
mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq
bain.
·
Kembali dengan campur jika tidak ada halangan.
Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
· Cukup kembali dengan
lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian
diharamkan oleh agama Islam.
Menurut sebuah riwayat dari asy-sya’bi yang dia terima dari masruq
dari aisyah, kata beliau:
“Rasulullah SAW pernah juga mengila’ dan mengharamkan (diri)
terhadap istri-istrinya, lalu yang haram beliau jadikan halal, sedang untuk (
menembus ) sumpahnya beliau membayar kiparat.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa
bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan
dengan tujuan menyiksa istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi
bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak
membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo
selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan
kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah menjadi sadar
kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa penangguhan itu dia sadar, maka
boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kifarat
buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya.
Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka
dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar
kifarat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat, dan
laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
·
Jumhur ulama, istrinya menuntut untuk
bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka jumhur ulama
berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki itu dari istrinya,
demi menjaga wanita itu dari bahaya.
·
Ulama Ahmad, Asy-Syafi’i dan para ulama ahlu
zhahir, hakim itu tetap belum boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh
didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
·
Ulama Hanafi, apabila masa empat bulan itu
lewat, sedangkan suami belum juga mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya
istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan habis. Dan suami
itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah menyia-nyiakan haknya
sendiri kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak
menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap istrinya.
C. ZHIHAR
1.
Definisi
zhihar
Zhihar adalah suatu
ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya “bagiku kamu seperti punggung ibuku”, ketika ia hendak mengharamkan
isterinya itu bagi dirinya. Thalak seperti ini telah berlaku dikalangan
orang-orang jahilliyah terdahulu. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada suami yang menzhiharnya
isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhiharnya tersebut tidak
sampai menjadi thalak. Di dalam kitab Ar-Raudah disebutkan “bahwa zhihar adalah
ucapan seorang suami kepada isterinya,’ bagiku
kamu seperti punggung ibuku,’ atau ucapan–ucapan yang semisal dengannya.
2.
Disyari’atkannya
kafarat zhihar
Diantara tujuan
disyri’atkannya kafarat adalah supaya pelaku zhihar tidak membiasakan perbuatan tersebut. Tujuan semacam ini
tidak akan terwujud, kecuali dengan mewajibkan sesuatu yang berat, baik dalam
bentuk pengeluaran materi (berupa pembayaran denda) atau dalam bentuk rasa
lapar dan haus (puasa).
3.
Kapan
pembayaran kafarat itu diwajibkan?
Ijma ulama mengatakan, bahwa
kafarat itu diwajibkan setelah suami yang mengucapkan zhihar menarik kembali ucapannya. para ulama dalam hal ini berbeda
pendapat mengenai sebab diwajibkannya kafarat tersebut, apakah karena adanya
penarikan ucapan itu atau zhihar itu sendiri. Mengenai masalah ini, jumhur
ulama berpendapat, bahwa yang diharamkan itu termasuk juga rangsangan sebelum
hubungan badan dan sebagian ulama berpendapat hanya pada hubungan badan saja,
dimana mereka mengatakan: “karena yatamassa
dalam ayat tersebut sebagai kinayah (kiasan) dari jima’ yang dimaksudkan dengan
“AL-Aud” adalah keinginan untuk berhubungan badan yang telah diharamkan suami melalui
zhiharnya. Perbedaan pendapat juga terjadi disekitar masalah hubungan badan
yang dilakukan oleh suami yang menzhihar isterinya sebelum membayar kafarat.
4.
Hukum
Suami yang Menzhihar Isterinya kemudian Menyetubuhinya sebelum habis waktu
Dalam kitab AL-Raud hah
dikatakan; “jika seorang suami yang menzihar, lalu menyetubuhi isterinya
sebelum habis waktu atau sebelum membayar kafarat, maka ia harus
menghentikannya sehingga membayar kafarat atau setelah habis waktu yang
ditentukan”.
5.
Perbedaan
Pendapat Mengenai Kekhususan Zhihar
Jumhurul ulama
berpendapat, bahwa zhihar itu hanya
khusus dengan perkataan “ibu”, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran dan
Sunnat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
salam. Ketiga imam dan sebuah riwayat dari imam Ahmad mengatakan, bahwa
apabila seorang suami mengatakan kepada isterinya, “bagiku kamu seperti
punggung ibuku,” maka tidak ada kewajiban baginya membayar kafarat.
6.
Bukan
Zhihar kecuali Jika Menyebutkan Wanita yang Menjadi Muhrimnya.
“Suami yang mengucapkan
kalimat zhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya, maka hal itu
termasuk zhihar, “ungkap Hasan Bashri. Atha’ mengatakan Suami yang menzhihar dengan menyebutkan wanita yang
menjadi muhrimnya atau saudara perempuan sesusuan, maka kesemua itu seperti
ibunya, dimana tidak diperbolehkan menyetubuhi isterinya sehingga ia membayar
kafarat. Suami yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang menjadi
muhrimnya atau bukan muhrimnya atau seorang anak perempuan, maka yang demikian
itu sudah termasuk zhihar.
7.
Orang
yang diwajibkan Membayar Kafarat
Kewajiban membayar
kafarat itu tidak gugur dari seseorang hanya karena kematiannya atau kematian
isterinya, tidak juga karena thalak darinya.
D.
KHULU
1. Pengertian Khulu
Khulu adalah tebusan yang dibayar oleh
seorang isteri kepada suami yang membencinya, agar ia (suami) dapat
menceraikannya. Allah subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
…
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka… (QS. Al-Baqoroh: 187)
2.
Hukum
khulu
Khulu diperbolehkan jika
telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Rasulullah Shallallahu alaihi Was Sallam pernah
berkata kepada isterinya Tsabit bin Qais. Ketika ia datang kepada beliau untuk
menuturkan perihal suaminya. Para ulama telah sepakat mengenai pensyari’atan
khulu ‘ini, kecuali bakar bin Abdullah bin muzni At-Tabi’I, dimana ia
mengatakan “tidak diperbolehkan mengambil harta milik isterinya sebagai tebusan
atas thalak yang dilakukan terhadapnya”.
3.
Bagaimana
Thalak dalam Khulu?
Apakah thalak telah
jatuh hanya dengan adanya khulu’ ataukah tidak jatuh sehingga suami menyebutkan
lafazh thalak tersebut, baik dengan kata–kata maupun hanya dengan niat saja?
jika terjadi khulu ‘yang lepas dari thalak,baik secara lisan maupun niat,maka
ada tiga pendapat.
·
pertama,
pendapat yang sering dikemukakan didalam kitab imam Syafi’I yang baru, yaitu
bahwa khulu’ termasuk thalak. Seandainya khulu’itu dianggap sebagai fasakh
(batal), niscaya tidak akan boleh mengambil harta pemberian selain mahar.
·
kedua,
pendapat imam Syafi’i yang disebutkan
dalam kitab ahkamul Qur’an, yaitu
bahwa khulu’ merupakan fasakh dan
bukan thalak. Pendapat yang terakhir ini ditentang oleh ismail Al-Qadhi, dimana
ia menyebutkan; bahwa seorang suami yang menyerahkan urusan isterinya kepada (isteri)
dan berniat untuk menthalaknya, lalu si isteri tersebut menganggap sebagai
thalak, maka ia telah ditalak.
·
ketiga,
jika tidak diniati untuk menthalak, maka
dalam hal ini tidak dianggap sama sekali.
4.
Syarat-syarat
Khulu
Seorang isteri meminta
kepada suaminya untuk melakukan khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam
dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Khulu itu berasal dari isteri dan bukan dari pihak suami. Khulu’ sebagai
thalak ba’in, sehingga suami tidak diperbolehkan merujuknya kembali kecuali, setelah
mantan isterinya menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akad
nikah yang baru.
5.
Beberapa
Hukum yang Berkenan dengan Khulu’
Jika khulu’tersebut
hanya sebagai lafazh khulu’semata, maka isteri harus menunggu dalam satu masa
haid berlalu. Suami yang melakukan khulu’ tidak diperkenankan merujuk isterinya
pada saat ia tengah menjalani masa ‘iddahnya.
6.
Khulu’
menjadikan Semua Urusan Isteri Berada di Tangannya.
Jumhur ulama
berpendapat, diantaranya adalah empat imam, apabila seorang suami menerima khulu’
yang diajukan oleh isterinya, maka isterinya telah berkuasa atas dirinya
sendiri dan segala urusannya berada ditangannya.sedangkan bagi sang suami tidak
diperbolehkan merujuknya.
7.
Khulu’
Pada Masa Suci dan Haid
Khulu’ itu
diperbolehkan baik pada masa suci maupun ketika haid.khulu’tidak memiliki waktu
tertentu. Lebih dari itu khulu’ boleh dilakukan kapan saja. Sedangkan yang
dilarang pada masa haid adalah thalak. Imam Syafi’I mengatakan “apabila hal itu
bersifat umum dan juga bersifat khusus, maka yang berlaku adalah yang bersifat
umum.
8.
Mengambil
Seluruh Pemberian Isteri dalam Khulu’
Az-Zuhri mengatakan: “tidak
diperbolehkan bagi suami mengambil harta melebihi apa yang telah diberikan kepada
nya. Adapula pendapat golongan yang memakruhkan hal itu. Diantara mereka adalah
Al-Hakam bin ‘Uyainah, Hammad bin Abi sulaiman, Amir Asy-Sya’abi. Dari Muhammad
bin Aqil bin Abi Thalib, ia menceritakan; bahwa Rubai ‘binti Mu’awwidz bin afra‘memberitahukan
kepadanya bahwa ia telah berkhulu’ (menebus diri) dari suaminya yaitu, dengan
menyerahkan seluruh apa yang ia miliki.
E.
Fasakh
Fasakh adalah pembatalan atau
pencabutan perkawinan, yakni perceraian yang diputuskan oleh hakim pengadilan
agama karena terbukti bahwa suami istri itu sepersusuan, memiliki hubungan
darah atau terdapat sesuatu yang melarang mereka menikah dan ini diketahui
setelah terjadi akad nikah. Salah satu suami istri yang merasa tertipu oleh
pasangannya (terdapat cacat yang prinsipil) dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan agama untuk di fasakhan perkawinannya. Pada fasakh ini tidak ada
ruju’ sekalipun dalam masa iddah.
F.
Keputusan Hakim
Bentuk-bentuk perceraian di
Indonesia yang diputuskan hakim di Pengadilan Agama adalah perceraian dengan
kasus Ta’lik talak, Syiqaq, Fasakh, Riddah (Murtad), dan Li’an (Latif, 1982:
61-75)
Kasus Ta’lik talak di Indonesia adalah suami melanggar
salah satu dari ta’lik talak yang ia ucapkan ketika akad nikah. Jika istri
menggugat cerai suaminya dengan alasan bahwa suaminya telah melanggar ta’lik talak tersebut, maka pengadilan
agama akan memeriksa suami istri itu dalam siding dan jika hasil sudah
meyakinkan hakim, pengadilan agama tersebut dapat memutuskan perceraian suami
istri itu dengan alasan tersebut karena pelanggaran ta’lik talak adalah salah
satu alasan perceraian. Walaupun demikian pengadilan agama akan berusaha untuk
mendamaikan mereka agar perceraian tidak terjadi.
Syiqaq adalah perselisihan hebat antara
suami istri. Penyelesaiannya hanya melalui putusan pengadilan, yakni perceraian
yang diputuskan oleh hakim pengadilan agama karena antara suami dan istri
teerus-menerus terjadi perselisihan dan perpecahan. Apabila telah cukup jelas sebab-sebab
terjadinya syiqaq dan tidak berhasil
mendamaikan keduanya, maka pengadilan agama itu dapat memutuskan perceraian
kepada suami istri tersebut.
Murtad (riddah)
adalah salah satu pasangan keluar dari agama Islam atau menganut agama lain
atau apabila asalah satu suami atau istri melakukan pembatal ke-Islam-an. Jika
ini terbukti dan mengakibatkan ketidak rukunan suami istri tersebut maka hakim
pengadilan agama dapat memutuskan perkawinan tersebut.
G.
Li’an
Li’an adalah suami menuduh istrinya
berbuat zina tanpa saksi dan/atau tidak mengakui janin dalam kandungan atau
anak yang sudah lahir dari rahim istrinya sebagai anaknya, sedangkan si istri
membantah tuduhan atau pengingkaran tersebut. Suami meli’an istri harus
dihadapan Pengadilan Agama dengan tata cara sebagai berikut. Suami bersumpah
sebanyak empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran janin atau anak
tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya
(suami) apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut bohong.” Aturan ini
terdapat dalam Al-Qur’an Qs. An-Nuur: 6-7
Dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta.
Agar
istri terbebas dari tuduhan tersebut ia dapat langsung membantahnya dengan
sumpah sebanyak empat kali dengan kata “tudhan suaminya bohong dan atau pengingkaran
tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah
atas dirinya jika ia (istri) berdusta atau jika tuduhan dan atau pengingkaran
suami itu benar.” Sesuai dengan Firman Allah QS. An-Nuur: 7-8.
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.
Li’an
menyebabkan putusan perkawinan selama-lamanya. Anak yang tidak diakui suami itu
hanya memiliki hubungan dengan ibunya atau istri yang diLi’an (KHI, Pasal
162:65).
H.
‘Iddah
1. Definisi Iddah
‘Iddah adalah masa dimana seorang
wanita yang diceraikan suaminya untuk menunggu. Pada masa itu ia tidak
diperbolehkan menikah atau menawarkan kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah
ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah. Setelah datangnya Islam, ‘iddah
tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari’at karena banyak mengandung
manfaat. Para ulama telah bersepakat mewajibkan ‘iddah ini didasarkan pada
firman Allah Ta’ala:
“Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Baqoroh: 228)
2. Hukum
‘Iddah
‘Iddah wajib abgi
seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kematian maupun cerai
karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasannya adalah:
Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka,
sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman
kepada mereka: "Matilah kamu",
kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. Al-Baqoroh: 234)
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah
dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS. Al-Ahzab: 49)
3. Hikmah
Disyari’atkannya ‘Iddah
Memberikan
kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga,
apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu. Untuk
mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang akan diceraikan. selanjutnya
untuk memelihara jika terdapat bayi di dalam kendungannya, agar menjadi jelas
siapa ayah dari bayi tersebut.
Agar
istri yang diceraikan dapat iktu merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menempati permintaan suami. Hal ini
jika ‘iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
4. Macam-Macam
‘Iddah
‘Iddah
bagi istri yang dithalak dan sedang menjalani masa haid. Jumhur para ulama berpendapat,
bahwa masa ‘iddah yang harus dijalani adalah tiga kali masa haid. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala di dalam surat Al-Baqoroh ayat 228.
‘Iddah
bagi istri yang dithalak dan sudah tidak lagi menjalani masa haid lagi (menopause)
juga tiga bulan. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah Azza wa Jalla:
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang-siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. At-Thalaaq: 4)
Demikian
juga dengan ‘iddahnya istri yang masih kecil yang belum menjalani masa haid.
‘Iddah
bagi istri yang sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan
pada firman Allah Azza wa Jalla dalam
surat At-Thalaaq ayat 4.
‘Iddah
istri ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, jika ia tidak
sedang hamil. Hal ini sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla:
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqoroh: 234)
‘Iddah
wanita yang menjalani istihadhah; apabila mempunyai hari-hari dimana ia biasa
menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa
sucinya tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesailah
sudha masa ‘iddahnya.
‘Iddah
istri yang menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yang diketahui
maupun tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab
tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu
masa ‘iddahnya sesuai dnegan masa haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih
lama. Sebaliknya jika disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui, maka ia
harus menjalani; iddahnya sampai satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk
menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa ‘iddahnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla
dalam surat Al-Ahzab ayat 49.
Dalam
ayat ini diambil dalil, bahwa seorang istri Muslimah yang belum digauli
suaminya tidak mempunyai kewajiban menjalani masa ‘iddah. Akan tetapi, jika
suaminya meninggal sebelum ia menggauli istrinya, maka istri yang
diceraikannnya harus menjalani masa ‘iddah sebagiamana jika suaminya telah
menggaulinya.
5. Sikap
wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah
Di
dalam Fiqh Sunnat Sayyid Sabiq mengatakan: “istri yang sedang menjalani masa
‘iddah berkewajiban untuk menetap dirumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang
suami sampai selesai masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar
ruamh tersebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan
ia dari rumahnya. Ini dikarenakan agar si suami mengetahui mantan istrinya
berada dimana. Hal ini berdasarkan surat At-Thalaaq ayat 1.
Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
C.
Ruju’
Mantan suami karena
talak raj’i atau putusan pengadilan agama dan bukan karena khuluk dapat
merujuki istrinya dalam masa iddah asal istrinya bersedia untuk rujuk tanpa
paksaan. Rujuk dilaksanakan di hadapan pegawai pencatatan nikah dan disaksikan
oleh dua orang saksi. Rujuk dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk
(KHI: 66-68).
Rujuk dilaksanakan
dalam masa iddah sebagaimana firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 228, yang
artinya “... Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendaki ishlah ...”
Tata cara rujuk di
Indonesia dalam KHI, Pasal 167 sebagai berikut:
1. Suami
yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami-istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan.
2. Rujuk
dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pecatatan Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
3. Pegawai
Pencatatan Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah memerisa dan
menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat untuk
merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih
dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah
istrinya
4. Setelah
itu suami mengucapka rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5. Setelah
rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatatan Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatatan nikah menasehati suami-istri tentang hukum-hukum dan kewajiban
mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Dan
pasal 168, sebagai berikut:
1. Dalam
hal rujuk dilakukan dihadapan Pemmbantu Pegawai Pencatatan Nikah daftar rujuk
dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai pencatatan
Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk
dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk yang lain disimpan.
2. Pengiriman
lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah rujuk
3. Apabila
lembaran pertama dari daftar rujuk hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatatan
Nikah membuat salinan dari daftar lembar kedua, dengan acara tentng sebab-sebab
hilangnya.
Daftar
Pustaka
·
Al-Qur’an
·
Al-Hadist
·
Fatah Abdul Wibisono,
dkk. 2007. “Muamalah Duniawiyah”. Jakarta: UHAMKA Press
·
Muhammad Kamil
‘Uwaidah. 1998. “Fiqih Wanita”. Jakarta: Darul Kutub
[Lihat Terj.
Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj.
Subulus Salam (III/12)]
[Lihat
uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]