Cari Blog Ini


Halalan Thayiban

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Dan firmanNya yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya”. (HR Muslim no. 1015).
Jenis Makanan HARAM:
1. BANGKAI
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb :
A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).
2. DARAH
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3. DAGING BABI
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Adapun hewan yang diterkam binatang buasa apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.
6. BINATANG BUAS BERTARING
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)
7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”
8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
9. AL-JALLALAH
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.
12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
KEPITING – hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
KURA-KURA dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).
ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).
KATAK/KODOK – hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.


PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

MAKALAH MUAMALAH
PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN DAN AKIBATNYA








 Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Muamalah
Dosen Pengampu: Drs. H. Nandi Rahman, MAg.

Disusun oleh:
1.    Arini Nur Sa’adah  
2.    Ade Nur Yuliana               
3.    Cintias Ria Dyanti 
4.    Debbi Yuniawati                
5.    Zaenal Hadi Kusuma         

Kelompok 3
Kelas VI-C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2012


Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga materi yang penulis susun ini terselesaikan sebagaimana mestinya.          
Disusunnya makalah ini berdasarkan tugas dari dosen mata kuliah Muamalah yaitu. Bapak Drs. H. Nandi Rahman, MAg., yang menugaskan penulis untuk membuat materi yang berjudul, “Putusnya Ikatan Perkawinan dan Akibatnya.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Nandi Rahman, MAg, yang telah menugaskan penulis untuk menyusun materi. Penulis berterima kasih pula kepada orang tua yang telah membantu dalam hal materil dan non materil.
  “Tiada gading yang tak retak’, demikian pula pada materi yang penulis susun ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan masukan-masukan yang membangun, agar penulis lebih mawas diri dalam menyusun materi-materi selanjutnya.
Akhir kata, semoga materi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.                               

           

Jakarta,    Maret 2012
                                   

                                                                                                          Penyusun



MATERI
PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

A.      Thalak
1.    Pengertian Thalak
Thalak (الطلاق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لإطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan.[1]
Dalil disyari’atkan talak adalah al-Qur’an, al-Hadist serta Ijma’ Ulama. Di dalam al-Qur’an secara tegas dan jelas dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 229.
…الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik ….”
Dan juga dalam surah Ath-Thalaaq: 1.
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu.”
Sedangkan di dalam beberapa Hadist diterangkan mengenai problematika talak dan hukumnya, diantaranya hadist riwayat Ibnu ‘Umar.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاق
Perkara halal yang paling dibenci dalam pandangan Allah adalah talak”
Para Ulama’ sepakat akan kebolehan thalak. Bila saja keadaan rumah tangga mengalami keretakan dan kesenjangan yang terus berkelanjutan, tanpa mengenal kata henti, keduanya sama-sama memilih gaya hidup sendiri-sendiri, tidak ada lagi kekompakan, keselarasan kemauan dan keinginan, sehingga rumah tangga mereka mendekati kondisi yang amat memprihatinkan maka pada saat seperti ini pintu talak dibuka untuk keluar dari kesesakan, ketidak seimbangan kehidupan dan menghilangkan berbagai hal negatif.
2.    Hukum Talak
a.    Ketika Harus Berpisah
Perpisahan yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luas daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui beberapa masalah yang dibahas dalam ruang lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinya perpisahan.
b.   Definisi dan Hukum Talak
Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu:[2]
1.    Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
2.    Talak hukumnya sunnah, jika suami atau sitri atau keduanya sudah tidak sanggup lagi melaksanankan kewajibannya untuk meneruskan kehidupan berumah tangga.
3.    Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
4.    Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
5.    Talak hukumnya menjadi wajib, jika terkjadi perselisihan atau percekcokan terus menerus antara suami istri dan tidak mungkin lagi untuk didamaikan, hanya cerai satu-satunya jalan keluar.
6.    Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
c.    Hukum Talak tanpa Sebab
Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: Saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan apa-apa. Datang yang lain melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya. Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis.
Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air dan di atas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah: 102)
3.    Macam-Macam Talak
Berdasarkan buku Fiqh Sunnah (Sabiq, 190: 42-45), dapat disimpulkan bahwa macam-macam talak adalah sebagai berikut:
a.    Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua. Dalam talak ini suami berhak untuk ruju’ selama istirnya masih dalam masa iddah dengan tanpa perlu akad baru. Firman Allah QS. Al-Baqoroh: 229
b.    Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga.
c.    Talak sunni adalah talak yang dibolehkan karena dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rosul SAW, yakni talak dijatuhkan ketika istri dalam kedaan suci dan belum dicampuri, kecuali istri telah hamil dan bukan sekaligus dijatuhkan talak tiga. Jadi talaknya berurutan, sesuai bilangan talak.
d.   Talak Bid’i atau Bid’ah adalah talak yang dilarang dalam Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa talak ini sah. Tetapi segolongan ulama berpendapat talak tersebut tidak sah. Hokum bagi yang melakukannya adalah haram dan pelakunya berdosa, yakni; talak yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haid, atau suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut; talak bersyarat atau dijadikan sumpah; talak tiga sekaligus.

B.       Ila’
1.    Pengertian la’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut      syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan mencampuri istri.
Menurut Rijal (1997: 250) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam (2000: 180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam (1996: 410) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali (tidak campur), maka dengan sendirinya kepada istri itu  jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah: 226-227
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
 “Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya[3] diberi tangguh empat bulan (lamanya) kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hari untuk) thalak, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.    Cara kembali dari Sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat:
·      Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
·      Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
·      Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama Islam.
Menurut sebuah riwayat dari asy-sya’bi yang dia terima dari masruq dari aisyah, kata beliau:
“Rasulullah SAW pernah juga mengila’ dan mengharamkan (diri) terhadap istri-istrinya, lalu yang haram beliau jadikan halal, sedang untuk ( menembus ) sumpahnya beliau membayar kiparat.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan menyiksa istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kifarat buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar kifarat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat, dan laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
·      Jumhur ulama, istrinya menuntut untuk bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka jumhur ulama berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki itu dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari bahaya.
·      Ulama Ahmad, Asy-Syafi’i dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu tetap belum boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
·      Ulama Hanafi, apabila masa empat bulan itu lewat, sedangkan suami belum juga mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan habis. Dan suami itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah menyia-nyiakan haknya sendiri kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap istrinya.

C.      ZHIHAR
1.      Definisi zhihar
Zhihar adalah suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya “bagiku kamu seperti punggung ibuku”, ketika ia hendak mengharamkan isterinya itu bagi dirinya. Thalak seperti ini telah berlaku dikalangan orang-orang jahilliyah terdahulu. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada suami yang menzhiharnya isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhiharnya tersebut tidak sampai menjadi thalak. Di dalam kitab Ar-Raudah disebutkan “bahwa zhihar adalah ucapan seorang suami kepada isterinya,’ bagiku kamu seperti punggung ibuku,’ atau ucapan–ucapan yang semisal dengannya.
2.      Disyari’atkannya kafarat zhihar 
Diantara tujuan disyri’atkannya kafarat adalah supaya pelaku zhihar tidak membiasakan perbuatan tersebut. Tujuan semacam ini tidak akan terwujud, kecuali dengan mewajibkan sesuatu yang berat, baik dalam bentuk pengeluaran materi (berupa pembayaran denda) atau dalam bentuk rasa lapar dan haus (puasa).
3.      Kapan pembayaran kafarat itu diwajibkan?
Ijma ulama mengatakan, bahwa kafarat itu diwajibkan setelah suami yang mengucapkan zhihar menarik kembali ucapannya. para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai sebab diwajibkannya kafarat tersebut, apakah karena adanya penarikan ucapan itu atau zhihar itu sendiri. Mengenai masalah ini, jumhur ulama berpendapat, bahwa yang diharamkan itu termasuk juga rangsangan sebelum hubungan badan dan sebagian ulama berpendapat hanya pada hubungan badan saja, dimana mereka mengatakan: “karena yatamassa dalam ayat tersebut sebagai kinayah (kiasan) dari jima’ yang dimaksudkan dengan “AL-Aud” adalah keinginan untuk berhubungan badan yang telah diharamkan suami melalui zhiharnya. Perbedaan pendapat juga terjadi disekitar masalah hubungan badan yang dilakukan oleh suami yang menzhihar isterinya sebelum membayar kafarat.
4.      Hukum Suami yang Menzhihar Isterinya kemudian Menyetubuhinya sebelum habis waktu
Dalam kitab AL-Raud hah dikatakan; “jika seorang suami yang menzihar, lalu menyetubuhi isterinya sebelum habis waktu atau sebelum membayar kafarat, maka ia harus menghentikannya sehingga membayar kafarat atau setelah habis waktu yang ditentukan”.
5.      Perbedaan Pendapat Mengenai Kekhususan Zhihar
Jumhurul ulama berpendapat, bahwa zhihar itu hanya khusus dengan perkataan “ibu”, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa salam. Ketiga imam dan sebuah riwayat dari imam Ahmad mengatakan, bahwa apabila seorang suami mengatakan kepada isterinya, “bagiku kamu seperti punggung ibuku,” maka tidak ada kewajiban baginya membayar kafarat. 

6.      Bukan Zhihar kecuali Jika Menyebutkan Wanita yang Menjadi Muhrimnya.
“Suami yang mengucapkan kalimat zhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya, maka hal itu termasuk zhihar, “ungkap Hasan Bashri. Atha’ mengatakan Suami yang menzhihar dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya atau saudara perempuan sesusuan, maka kesemua itu seperti ibunya, dimana tidak diperbolehkan menyetubuhi isterinya sehingga ia membayar kafarat. Suami yang menzhihar isterinya dengan menyebutkan wanita yang menjadi muhrimnya atau bukan muhrimnya atau seorang anak perempuan, maka yang demikian itu sudah termasuk zhihar.
7.      Orang yang diwajibkan Membayar Kafarat
Kewajiban membayar kafarat itu tidak gugur dari seseorang hanya karena kematiannya atau kematian isterinya, tidak juga karena thalak darinya.

D.      KHULU
1.      Pengertian Khulu
Khulu adalah tebusan yang dibayar oleh seorang isteri kepada suami yang membencinya, agar ia (suami) dapat menceraikannya. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman.
… mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka… (QS. Al-Baqoroh: 187)
2.      Hukum khulu
Khulu diperbolehkan jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Rasulullah Shallallahu alaihi Was Sallam pernah berkata kepada isterinya Tsabit bin Qais. Ketika ia datang kepada beliau untuk menuturkan perihal suaminya. Para ulama telah sepakat mengenai pensyari’atan khulu ‘ini, kecuali bakar bin Abdullah bin muzni At-Tabi’I, dimana ia mengatakan “tidak diperbolehkan mengambil harta milik isterinya sebagai tebusan atas thalak yang dilakukan terhadapnya”.
3.      Bagaimana Thalak dalam Khulu?
Apakah thalak telah jatuh hanya dengan adanya khulu’ ataukah tidak jatuh sehingga suami menyebutkan lafazh thalak tersebut, baik dengan kata–kata maupun hanya dengan niat saja? jika terjadi khulu ‘yang lepas dari thalak,baik secara lisan maupun niat,maka ada tiga pendapat.
·      pertama, pendapat yang sering dikemukakan didalam kitab imam Syafi’I yang baru, yaitu bahwa khulu’ termasuk thalak. Seandainya khulu’itu dianggap sebagai fasakh (batal), niscaya tidak akan boleh mengambil harta pemberian selain mahar.
·      kedua, pendapat imam Syafi’i  yang disebutkan dalam kitab ahkamul Qur’an, yaitu bahwa khulu’ merupakan fasakh dan bukan thalak. Pendapat yang terakhir ini ditentang oleh ismail Al-Qadhi, dimana ia menyebutkan; bahwa seorang suami yang menyerahkan urusan isterinya kepada (isteri) dan berniat untuk menthalaknya, lalu si isteri tersebut menganggap sebagai thalak, maka ia telah ditalak.
·      ketiga, jika tidak diniati untuk menthalak, maka dalam hal ini tidak dianggap sama sekali.  
4.      Syarat-syarat Khulu 
Seorang isteri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Khulu itu berasal dari isteri dan bukan dari pihak suami. Khulu’ sebagai thalak ba’in, sehingga suami tidak diperbolehkan merujuknya kembali kecuali, setelah mantan isterinya menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akad nikah yang baru.
5.      Beberapa Hukum yang  Berkenan dengan Khulu’
Jika khulu’tersebut hanya sebagai lafazh khulu’semata, maka isteri harus menunggu dalam satu masa haid berlalu. Suami yang melakukan khulu’ tidak diperkenankan merujuk isterinya pada saat ia tengah menjalani masa ‘iddahnya.

6.      Khulu’ menjadikan Semua Urusan Isteri Berada di Tangannya.
Jumhur ulama berpendapat, diantaranya adalah empat imam, apabila seorang suami menerima khulu’ yang diajukan oleh isterinya, maka isterinya telah berkuasa atas dirinya sendiri dan segala urusannya berada ditangannya.sedangkan bagi sang suami tidak diperbolehkan merujuknya.
7.      Khulu’ Pada Masa Suci dan Haid
Khulu’ itu diperbolehkan baik pada masa suci maupun ketika haid.khulu’tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dari itu khulu’ boleh dilakukan kapan saja. Sedangkan yang dilarang pada masa haid adalah thalak. Imam Syafi’I mengatakan “apabila hal itu bersifat umum dan juga bersifat khusus, maka yang berlaku adalah yang bersifat umum.
8.      Mengambil Seluruh Pemberian Isteri dalam Khulu’
Az-Zuhri mengatakan: “tidak diperbolehkan bagi suami mengambil harta melebihi apa yang telah diberikan kepada nya. Adapula pendapat golongan yang memakruhkan hal itu. Diantara mereka adalah Al-Hakam bin ‘Uyainah, Hammad bin Abi sulaiman, Amir Asy-Sya’abi. Dari Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib, ia menceritakan; bahwa Rubai ‘binti Mu’awwidz bin afra‘memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berkhulu’ (menebus diri) dari suaminya yaitu, dengan menyerahkan seluruh apa yang ia miliki.

E.       Fasakh
Fasakh adalah pembatalan atau pencabutan perkawinan, yakni perceraian yang diputuskan oleh hakim pengadilan agama karena terbukti bahwa suami istri itu sepersusuan, memiliki hubungan darah atau terdapat sesuatu yang melarang mereka menikah dan ini diketahui setelah terjadi akad nikah. Salah satu suami istri yang merasa tertipu oleh pasangannya (terdapat cacat yang prinsipil) dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama untuk di fasakhan perkawinannya. Pada fasakh ini tidak ada ruju’ sekalipun dalam masa iddah.


F.       Keputusan Hakim
Bentuk-bentuk perceraian di Indonesia yang diputuskan hakim di Pengadilan Agama adalah perceraian dengan kasus Ta’lik talak, Syiqaq, Fasakh, Riddah (Murtad), dan Li’an (Latif, 1982: 61-75)
Kasus Ta’lik talak di Indonesia adalah suami melanggar salah satu dari ta’lik talak yang ia ucapkan ketika akad nikah. Jika istri menggugat cerai suaminya dengan alasan bahwa suaminya telah melanggar ta’lik talak tersebut, maka pengadilan agama akan memeriksa suami istri itu dalam siding dan jika hasil sudah meyakinkan hakim, pengadilan agama tersebut dapat memutuskan perceraian suami istri itu dengan alasan tersebut karena pelanggaran ta’lik talak adalah salah satu alasan perceraian. Walaupun demikian pengadilan agama akan berusaha untuk mendamaikan mereka agar perceraian tidak terjadi.
Syiqaq adalah perselisihan hebat antara suami istri. Penyelesaiannya hanya melalui putusan pengadilan, yakni perceraian yang diputuskan oleh hakim pengadilan agama karena antara suami dan istri teerus-menerus terjadi perselisihan dan perpecahan. Apabila telah cukup jelas sebab-sebab terjadinya syiqaq dan tidak berhasil mendamaikan keduanya, maka pengadilan agama itu dapat memutuskan perceraian kepada suami istri tersebut.
Murtad (riddah) adalah salah satu pasangan keluar dari agama Islam atau menganut agama lain atau apabila asalah satu suami atau istri melakukan pembatal ke-Islam-an. Jika ini terbukti dan mengakibatkan ketidak rukunan suami istri tersebut maka hakim pengadilan agama dapat memutuskan perkawinan tersebut.

G.      Li’an
Li’an adalah suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi dan/atau tidak mengakui janin dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari rahim istrinya sebagai anaknya, sedangkan si istri membantah tuduhan atau pengingkaran tersebut. Suami meli’an istri harus dihadapan Pengadilan Agama dengan tata cara sebagai berikut. Suami bersumpah sebanyak empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran janin atau anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya (suami) apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut bohong.” Aturan ini terdapat dalam Al-Qur’an Qs. An-Nuur: 6-7
   
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.[4]
Agar istri terbebas dari tuduhan tersebut ia dapat langsung membantahnya dengan sumpah sebanyak empat kali dengan kata “tudhan suaminya bohong dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya jika ia (istri) berdusta atau jika tuduhan dan atau pengingkaran suami itu benar.” Sesuai dengan Firman Allah QS. An-Nuur: 7-8.
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.
Li’an menyebabkan putusan perkawinan selama-lamanya. Anak yang tidak diakui suami itu hanya memiliki hubungan dengan ibunya atau istri yang diLi’an (KHI, Pasal 162:65).

H.      ‘Iddah
1.    Definisi Iddah
‘Iddah adalah masa dimana seorang wanita yang diceraikan suaminya untuk menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah. Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari’at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah bersepakat mewajibkan ‘iddah ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[5]. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqoroh: 228)

2.    Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib abgi seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kematian maupun cerai karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasannya adalah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu"[6], kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. Al-Baqoroh: 234)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[7] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS. Al-Ahzab: 49)
3.    Hikmah Disyari’atkannya ‘Iddah
Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang akan diceraikan. selanjutnya untuk memelihara jika terdapat bayi di dalam kendungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dari bayi tersebut.
Agar istri yang diceraikan dapat iktu merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menempati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
4.    Macam-Macam ‘Iddah
‘Iddah bagi istri yang dithalak dan sedang menjalani masa haid. Jumhur para ulama berpendapat, bahwa masa ‘iddah yang harus dijalani adalah tiga kali masa haid. Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Al-Baqoroh ayat 228.
‘Iddah bagi istri yang dithalak dan sudah tidak lagi menjalani masa haid lagi (menopause) juga tiga bulan. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah Azza wa Jalla:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. At-Thalaaq: 4)
Demikian juga dengan ‘iddahnya istri yang masih kecil yang belum menjalani masa haid.
‘Iddah bagi istri yang sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla dalam surat At-Thalaaq ayat 4.
‘Iddah istri ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, jika ia tidak sedang hamil. Hal ini sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla:
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[8] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqoroh: 234)
‘Iddah wanita yang menjalani istihadhah; apabila mempunyai hari-hari dimana ia biasa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa sucinya tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesailah sudha masa ‘iddahnya.
‘Iddah istri yang menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yang diketahui maupun tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu masa ‘iddahnya sesuai dnegan masa haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebaliknya jika disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani; iddahnya sampai satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa ‘iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Ahzab ayat 49.
Dalam ayat ini diambil dalil, bahwa seorang istri Muslimah yang belum digauli suaminya tidak mempunyai kewajiban menjalani masa ‘iddah. Akan tetapi, jika suaminya meninggal sebelum ia menggauli istrinya, maka istri yang diceraikannnya harus menjalani masa ‘iddah sebagiamana jika suaminya telah menggaulinya.
5.    Sikap wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah
Di dalam Fiqh Sunnat Sayyid Sabiq mengatakan: “istri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap dirumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar ruamh tersebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan ia dari rumahnya. Ini dikarenakan agar si suami mengetahui mantan istrinya berada dimana. Hal ini berdasarkan surat At-Thalaaq ayat 1.
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.[9]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     

C.      Ruju’
Mantan suami karena talak raj’i atau putusan pengadilan agama dan bukan karena khuluk dapat merujuki istrinya dalam masa iddah asal istrinya bersedia untuk rujuk tanpa paksaan. Rujuk dilaksanakan di hadapan pegawai pencatatan nikah dan disaksikan oleh dua orang saksi. Rujuk dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk (KHI: 66-68).
Rujuk dilaksanakan dalam masa iddah sebagaimana firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 228, yang artinya “... Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka menghendaki ishlah ...”
Tata cara rujuk di Indonesia dalam KHI, Pasal 167 sebagai berikut:
1.    Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami-istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
2.    Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pecatatan Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
3.    Pegawai Pencatatan Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah memerisa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat untuk merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya
4.    Setelah itu suami mengucapka rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5.    Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatatan Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatatan nikah menasehati suami-istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Dan pasal 168, sebagai berikut:
1.    Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pemmbantu Pegawai Pencatatan Nikah daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai pencatatan Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk yang lain disimpan.
2.    Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah rujuk
3.    Apabila lembaran pertama dari daftar rujuk hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah membuat salinan dari daftar lembar kedua, dengan acara tentng sebab-sebab hilangnya.













Daftar Pustaka

·      Al-Qur’an
·      Al-Hadist
·      Fatah Abdul Wibisono, dkk. 2007. “Muamalah Duniawiyah”. Jakarta: UHAMKA Press
·      Muhammad Kamil ‘Uwaidah. 1998. “Fiqih Wanita”. Jakarta: Darul Kutub




[1] [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
[2] [Lihat uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]

[3]  Meng-ilaa' isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini, maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
[4] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya itu. Kemudian dia bersumpah sekali lagi bahwa dia akan kena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
[5] Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
[6] Sebahagian ahli tafsir (seperti Al-Thabari dan Ibnu Katsir) mengartikan mati di sini dengan mati yang sebenarnya; sedangkan sebahagian ahli tafsir yang lain mengartikannya dengan mati semangat.
[7] Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
[8]  Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan
[9] Suatu hal yang baru maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.