A. Pendahuluan
Perubahan sosial
merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan oleh ilmu sosial, baik dibidang
politik, ekonomi, pendidikan, hukum, teknologi budaya dan lain-lain. Heferkamp
dan Smelsera mengungkapkan “Setiap ilmu sosial apapun titik tolak konseptualnya,
tentu akan tertuju pada perubahan yang mengambarakan realitas.” Namun berbeda
dengan ilmu sosial lain yang menjadikan perubahan sosial hanya sebagai salah
satu unsur kajiannya, maka sosiologi menekankan perubahan sosial sebagai konsep
utamanya karena inti dari menpelajari sosiologi adalah masyarakat, proses
sosial, dan perubahan sosial.
Perubahan
masyarakat tampak terus bergulir. Memasuki abad ke-21 yang dikenal era
globalisasi, transformasi sosial secara redikal. Teknologi sering kali dianggap
sebagai ikon yang membabat habis batas-batas antar-negara. Dunia semakin kecil
dan sempit. Berbeda dengan perubahan sosial sebelumnya dimana komunikasi dan
kontak antar-negara belum terlalu intensif, globalisasi komunikasi telah
merekatkan masyarakat dunia menjadi warga Negara dari sebuah desa kecil.
Isu-isu antar-negara pun seragam, global warming, ketimpangan gender, HAM,
homoseksual, dan lain-lain. Isu lokal pun mulai kehilangan ruang.
Paparan di atas
makin menguatkan pertanyaan bahwa perubahan sosial memang merupakan
keniscayaan, tapi sudahkah kita memahami apa yang dimaksudkan perubahan sosial?
Teori-teori perubahan sosial apakah yang sudah direkonstruksi sosiologi
bedasarkan pengamatan terhadap masyarakat? Bagai manakah padangan islam terhadap
perubahan sosial? Dan apa peran Rosulullah dalam melakukan transformasi sosial
dimasyarakat Arab? Tulisan ini bermaksud menjawab beragam pertanyaan tersebut.
B.
Perdebatan
Seputar Makna Perubahan Sosial
Perubahan sosial
memiliki pengertian yang sangat beragam. Ada tiga pandangan mengenai apa yang
dimaksud dengan perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial itu berubahnya
sistem sosial (perubahan pada struktur,
kultur, dan intraksi sosial). Karena itu, perubahan seharusnya terjadi pada
seluruh aspek kehidupan. Bagi kelompok ini, perubahan yang terjadi pada satu
fenomena saja tidak dianggap sebagai perubahan sosial.
Salah satu tokoh
sosiologi yang menekankan perubahan sosial pada sistem sosial adalah Farlay,
yang mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada pola prilaku,
hubungan sosial lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Georger
Ritzer rupanya berpendapat sama bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada
variasi hubungan antara individu, kelompok, 0rganisasi sosial, kultur, dan masyarakat
pada waktu tertentu. Pada saat ini, mereka mengabaikan perubahan sosial sebagai
perubahan. Selo Soemardjan juga berpedapat bahwa perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat, Tekanan pada difinisi tersebut terletak pda
lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, yang kemudian
memengaruhi segi-segi struktur masyarakat lain.
Pada sistem
sosial atau struktur, kultur dan interaksi sosial, memang tidak banyak
perubahan semacam ini. Biasanya itu terjadi pada masyarakat Iran pada paska revolusi
1978. Perubahan yang dimotori oleh para mullah yang dipimpin imam Khumaini ini
telah mengubah secara redikal sistem sosial yang sudah terbentuk pada masa syah
Reza Pahlevi. Dimulai dengan mengubah sistem kenegaraan dari republik yang
berorentasi sekuler pada sistem Negara Islam yang bercorak fundamentalis, telah
mempengaruhi perubahan ranah sistem pendidikan, ekonomi, kesehatan, budaya, dan
lain-lain.
Pada bidang
pendidikan misalnya, Rezim khumaini mengubah orentasi pembelajaran, kurikulum,
materi ajar, dan metode-metode pembelajaran. Bila Syah Reza Pahlevi menekankan
pada kurikulum yang berbasis barat, Maka Khumaini mengubahnya pada kurikulum
berbasis islam. Untuk memenuhi standar kurikulum dan materi ajar yang
diinginkan, misalnya, Khumaini menutup universitas selama 4 tahun. Perubahan
sistem kenegaraan juga mempengaruhi perubahan pada segi-segi kulturalnya.
Contohnya, perempuan yang dulu berpakaian dan gaya hidup barat berubah drastis
pada hidup islami ala fundamentalis. Kerudung milai dikelakkan dan diskotik
ditutup. Pemilik toko dilarang melayani perempuan tak berkerudung. Perempuan
yang berjalan tanpa kerudung di jalan raya akan ditangkap dan dipenjarakan.
Dalam bidang ekonomi perubahan dilakukan, perempuan yang dulu meniti karir
mulai di rumahkan. Firma-firma yang dikelola pengecara perempuan ditutup dan
hakim-hakim perempuan dipecat dari jabatannya. Karnanya, jumlah perempuan
pekerja menurun secara signifikan saat itu, dari 13,7 % di tahun 1976 menjadi
8,8 % di tahun 1986. Jumlah perempuan pencari kerjapun menurun. Data menunjukan
di tahun 1989 hanya ada 16 % pencari pekerja perempuan, itu pun tidak seluruh
diterima di pasaran kerja. Adab pergaulan remaja berlawanan jenis juga di tata
ulang. Seluruh perubahan redikal ini terjadi di masa awal pemerintahan
Khumaini.
Kedua, berbeda
dengan tokoh-tokoh yang dikemukakan sebelumnya, Charles R.Harper justru
memusatkan pada perubahan sosial pada struktur soaial. Apa yang dimaksudkannya
dengan struktur sosial adalah sebuah jaringan relasi yang mampan di mana
interaksi yang terjadi di dalamnya telah
menjadi rutin dan terjadi secara berulang-ulang, seperti peran sosial,
kelompok, organisasi sosial, institusi sosial, dan masyarakat. Contohnya
masuknya perempuan ke dunia karja telah mengubah peran, status dan struktur
lembaga keluarga. Peran domestic seorang ibu sebagian besar digantikan oleh
baby sitter dan pembantu rumah tangga. Begitu juga, peran seorang ayah sebagai
pencari nafkah utama juga tergantikan. Komunikasi antar keluarga pun tak lagi
bertumpu pada kuantitas tetapi lebih pada kualitas pertemuan.
Untuk memudahkan
pemahaman tentang perubahan pada sisi struktur sosial, Harper menuliskannya
dalam bentuk table sebagai tetara di bawah ini:
Tabel 1.1
Level
Struktur
|
Perubahan-perubahan
|
Kelompok kecil
|
Pada peran dan struktur komunikasi
|
Organisasi-organisasi
|
Dalam struktur, hirarki, kekuasaan, produktivitas
|
Lembaga-lembaga
|
Keluarga, ekonomi, politik, hukum, pendidikan
|
Masyarakat
|
Stratifikasi sosial, demografi, dan kekuasaan
|
Global
|
Dalam evolusi, hubungan-hubungan internasonal,
modernisasi, dan pembangunan
|
Ketiga,
tokoh-tokoh lebih menekankan perubahan sosial sebagai transformasi dalam
pengorganisasian masyarakat. Misalnya bila pada masyarakat tradisional pemimpin
dipilih berdasarkan azas kekuargaan dan kepercayaan, maka kini berubah bahwa
seorang pemimpin dipilih berdasarkan pada kemampuaan, profesionalisme,
rasionalitas, konsensus, dan aturan yudisial yang jelas. Di antara tokohnya
adalah Parsell dan Macionis. Keempat, sosiologi yang menyatakan bahwa perubahan
sosial adalah setiap perubahan apapun yang dapat diamati dan diukur, seperti
perubahan pada mobilitas sosial, perubahan komposisi penduduk, perunahan
pemerintahan, dan lain-lain.
Perbedaan itu
terjadi karena masing-masing sosiolog memberikan tekanan berbeda terhadap apa
yang dimaksud dengan perubahan sosial. Selain itu, karena adanya perbedaan
dalam melihat orientasi analisis, asumsi dasar dalam melihat masyarakat, dan
tema substatif dari perubahan sosial. Tetapi untuk memudahkannya, perubahan
apapun yang terjadi pada masyarakat, selama perubahan itu memengaruhi kehidupan
kolektif, maka itu dapat disebut sebagai perubahan sosial.
C.
Teori-teori
Perubahan Sosial
Para ahli
filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, telah mencoba untuk merumuskan
perinsip-perinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang
berpendapat bahwa kecendurungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan
gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ahli lain
berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya
perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.
Kemudian, ada pula yang berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial bersifat periodik
dan non periodik. Pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa
perubahan merupakan lingkaran kejadian-kejadian.
Berikut ini,
beberapa teori perubahan sosial yang relatif popular dan banyak digunakan dalam
analisis tentang perubahan masyarakat:
1. Teori Evolusioner atau Unilinear
Teori ini
menyatakan bahwa perubahan sosial itu berjalan secara bertahap, serupa, tetap,
dan pasti karena keberadaannya tak terletak. Aliran ini meyakini bahwa semua
masyarakat di dunia akan melampaui tahapan-tahapan yang sama bermula dari
perkembangan awal menuju pada perkembangan akhir. Bilamana tahapan terakhir
telah tercapai, maka saat itupun perubahan evolusioner itu berakhir. Teori ini
juga disebut sebagai teori unilinear. Diantara tokoh yang popular adalah Augeste Comte (1798-1857), serjana perancis
yang dikenal juga sebagai pendiri sosiologi. Masyarakat, menurutnya, dapat
diklasifikasikan ke dalam tahap perkembangan, yaitu pertama, tahap teologis (theological stage) diarahkan oleh
nilai-nilai alami (supernatural). Konsepsi
teoritis mereka dilandaskan pada pemikiran mengenai keunggulan
kekuatan-kekuatan adikodrati sehinga hasil pengamatan yang diperoleh melalui
imajinasi atau penelitian ilmiah tidak dibenarkan. Kedua, tahap metefisik (methaphysical stage),yakni tahap peralihan
di mana kepercayaan terhap unsur adikodrati berubah digantikan oleh
perinsip-perinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan budaya.
Pengamatan masih masih dikuasai
imajinasi tetapi lambat laun mengalami perubahan dan belakang dasar dari
penelitian. Ketiga, tahap positif atau tahap ilmiah (positive or scientific stage), di mana masyarakat diarahkan oleh
kenyataan yang didukung oleh ilmu pengetahuan.
Herbert Spencer
(1820-1903), Serjana Inggris yang menulis buku pertama berjudul principles of sociology (1896) juga
dikenal sebagai pendukung teori ini. Gagasannya ini dipengaruhi oleh pemikiran
Charles Darwin tentang survival of the
Fittest, maksudnya yang terkuatlah yang akan menang. Dalam konteks
masyarakat, ia memandang orang-orang yang termpil, cerdas, kreatif, dan
anergetik yang akan memenangkan pertarungan hidup, sedangkan orang-orang males
dan lemah akan tersisi. Spencer juga melihat adanya persamaan antara evolusi
dan organis dangan evolusi sosial di mana struktur sosial berkembang secara evolusioner
dari struktur yang homogen menjadi heterogen, dari yang sederhana kepada yang
kompleks. Berkaitan dengan masyarakat, ia melihat perkembangan masyarakat
sebagai suatu proses evolusi yang ditandai oleh meningkatnya konpleksitas,
berkembangnya keanekaragaman struktur dan fungsi masyarakat serta berkembangnya
saling ketergantungan diantara bagian-bagian yang beraneka ragam itu, sehinga
kecil kemungkinan terjadinya disintegrasi. Menurut pandangannya, perubahan
struktur berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Perubahan ini kemudian
dikenal sebagai “darwinisme sosial“,
dan banyak dianut oleh golongan kaya. Spencer membagi tahap perkembangan
masyarakat termasuk pengembangan materi kedalam empat kategori, yaitu tahap
penggandaan atau pertambahan, tahap konpleksitas, tahap diferenisiasi atau
pembagian, dan tahap pengintegrasian.
Teoritis klasik
lain adalah Emile Durkheim yang mengikuti jejak pendahulunya dalam menganalisis
perubahan masyarakat dari sistem sederhana, berubah kepada masyarakat
tradisional dan agraris menuju sistem industrial. Menurutnya, perbedaan antara
satu sistem masyarakat dan sistem lainnya ditandai oleh tingkat keseragaman
dari pembagian karja (division of labor).
Semakin kecil tingkat pembagian kerja antar unit-unit yang ada di dalamnya,
semakin sederhana masyarakat tersebut. Pada masyarakat terpencil di Irian Jaya,
misalnya, pembagian kerja hanya terpusat pada kepala suku. Seorang kepala suku
bisa menjadi politisi, dokter, dukun, pimpinan agama, dan lain-lain. Pada
sistem semacam ini, hubungan antar-masyarakat diikatkan oleh homogenitas
prilaku dan kepercayaan yang dikenal solidaritas mekanik. Tetapi, dengan
meningkatkan pembagian kerja, peran-peran baru diperlukan sehingga meningkat
pola perbedaan unit-unit sesuatu sistem. Pada saat itu, melemah pula
homogenitas prilaku, kepercayaan, dan nilai-nilai moralitas dan kemudian
digantikan dengan solidaritas baru,
disebut solidaritas organik. Solidaritas ini di tandai dengan
interdependensi diantara elemen yabg berbeda. Durkheim menggambarkan perubahan
sosial melalui berbagai tahap, dimulai dengan pertumbuhan, kemudian diikuti
dengan pertumbuhan tingkat intraksi sosial, dan disusul dengan kompetisi dan
konflik yang mengancam kohesi sosial, lalu penciptaan pembagian kerja
diperlukan untuk memilihara ketertiban yang pada akhirnya membawa
interdependensi.
Sosiolog lain
dalam bidang ini adalah Lewis Henry Morgan (1818-1881), seorang antropologi
Amerika, yang mengklafikasi adanya tujuh tahap teknologi yang dilalui oleh masyarakat,
dari tahap perbudak hingga tahap peradaban. Selain itu, Karl Marx (1813-1883),
ahli filsafat Jerman yang banyak menghabiskan kehidupannya di Inggris juga
termasuk penganut evolusionis. Melalui identifikasi terhadap penggunaan
teknologi di masyarakat, Marx menggolongkan masyarakat ke dalam lima tahap,
dari masyarakat pemburu primitif ke masyarakat industrialis modern. Setiap
tahap memiliki “metode produksi” yang cocok untuk tahap tersebut, dan
unsur-unsur budaya lainnya diselaraskan dengan cara tersebut.
Menurut Marx,
perubahan dari satu tahap ke tahap yang lainnya merupakan sebuah keniscayaan,
tetapi hal itu perlu dicatat bahwa perubahan ke taraf selanjutnya tidak mungkin
terjadi tanpa penghancuran dari tahap itu sendiri. Tetapi patut disadari bahwa
setiap tahap mengandung potensi perusak dari dirinya sendiri. Dalam konteks
kapitalisme, Marx menilai kapitalisme sebagai sesuatu yang kejam dan
eksploitatif, namun itu dibutuhkan sebagai batu loncatan dalam rangka peralihan
menuju komunisme. Marx meyakini bahwa komunisme akan muncul di atas puing-puing
kehancuran kapitsalis dan kerja keras kapitalis untuk menghindarinya tak
mungkin berhasil.
Beragam kritik
diarah kepada teori evolusi ini, diantaranya adalah pandang mereka bahwa
masyarakat di dunia seluruhnya akan kearah yang lebih baik merupakan konsepsi
yang utopis, karena kenyataannya ada perubahan yang menuju pada kemajuan dan
ada pula berubah kearah kemunduran. Tokoh utama dari pandangan ini adalah
Wilbart E.Moore (1963) yang cenderung mengangung-agungkan masa lampau dan melihat bahwa masyarakat masa
lalu lebih baik dari masyarakat sekarang. Keritikan yang lain adalah teori ini
kurang cermat karna memaksakan masyarakat tertentu ke dalam teori yang ada dan
mengabaikan kekhasan dari perkembangan masyarakat tersebut. Selain itu, ada
kesenjangan antara teori dan realitas menyangkut urutan dan tahapan masyarakat
yang dibuat tokoh-tokohnya. Faktanya ada sebagian masyarakat berkembang tidak
melalui seluruh rangkaian ururtan tersebut, tetapi melakukan lompatan.
Terakhir, gagasan yang menyatakan perubahan sosial akan berakhir sebenarnya
akan bartentangan dengan keyakinan para sosiolog bahwa perubahan merupakan
suatu yang konstan.
2. Teori Siklus
Berbeda dengan
teori evolusioner, teori ini menyakini bahwa perubahan dan perkembangan
masyarakat tidak berhenti pada sutu titik tertentu, tetepi kembali berputar ke
tahap awal dan berlanjut ke tahap selanjutnya seperti perputaran roda. Di
antara tokohnya, Oswald Spengler (1880-1936), filosof Jerman, berpandangan
bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan
keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Pendapat
ini di dasarkan pada perjalan sejarah peradaban dan kebudayaan monumental dari
berbagai bangsa di dunia seperti Yunani, Romawi, dan Mesir dan ia yakin bahwa
peradaban barat yang diwakili oleh Amerika, dan Eropa pada gilirannya akan
runtuh juga, seperti yang di tuliskannya dalam bukunya, The daclineof the west (Pudarnya barat).
Tokoh lainnya,
Pitirim Sorokin (1889-1968), sosiolog Rusia yang melarikan diri ke Amerika
Serikat setelah meletusnya revolusi di negaranya, berpendapat bahwa peradaban
besar berkembang dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir,
meliputi kebudayaan ideasional, yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan,
terhadap supernatural, kebudayaan idealistis, dimana kepercayaan terhadap unsur
adikodrati dan rasionalitas yang berdasarkan bergabung dalam menciptakan
masyarakat yang ideal, dan kebudayaan sensasi, di mana sensasi merupakan tolak
ukur dari kenyataan dan tujuan hidup. Selanjutnya, ia beranggapan bahwa
peradaban barat modern telah rapuh dan tidak lama lagi akan runtuh. Setelah
keruntuhannya, akan timbul kebudayaan ideasional yang baru.
Pandangan
mengenai teori siklus ini dijumpai dalam karya Vilfredo Pareto (1848-1923),
serjana Itali yang menjadi insunyur, politisi, dan prefesor untuk bidang
ekonomi-politik. Dalam tulisannya mengenai serkulasi kaum elite (the circulation elite),
pareto mengemukakan bahwa dalam setiap lapisan masyarakat terdapat dua lapisan,
lapisan bawah atau non-elite, dan
lapisan atas. Lapisan atas (kaum aristokrat)
terbagi lagi dalam dua kelas: elite
yang berkuasa dan elite yang tidak
berkuasa. Menurut Pareto, aristokrasi
hanya dapat bertahan untuk jangka waktu terntu saja dan akhirnya akan pudar dan
akan digantikan oleh aristokrasi baru
yang berasal dari lapisan bawah. Aristokrasi
yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan di gulingkan
melalui gerakan dengan disertai kekerasan atau revolusi. Sebagaimana hal
Spengler, maka di sini Pareto pun mengacu pada pengalaman kaum aristokrat di
Yunani, Romawi, dan sebagainya.
Arnold Toynbee
(1889-1975), sejana Inggris, juga menilai bahwa peradaban besar berada di dalam
siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan kematian. Ia menyatakan ada dua
puluh satu peradaban besar yang pernah muncul di muka bumi ini, tetapi semuanya
telah punah kecuali perdaban barat, yang dewasa ini tengah menuju ke tahap
kepunahannya. Meski gagasan teori siklus ini menarik karena diperkuat oleh
data-data ilmiah yang akurat dan analisis yang terperinci dan konprehensif,
tetepi tampaknya masih ada beberapa kelemahan yang dapat diidentifikasi.
Pertama, sejauh mana tingkat validitas informasi yang didapat dan bias tetap
dipertahankan, mengingat upaya untuk mengidentifikasi, menetapkan waktu secara
tepat, dan membandingkan ribuan gejala yang menunjukkan perubahan dalam
berbagai aspek sosial telah berlangsung ribuan tahun. Siapa yang dapat menjamin
bahwa semua pristiwa itu terekam dengan baik dan tak ada sedikit pun catatan
yang hilang. Karena itu, sebagai sosialog memperkirakan sangat mungkin terjadi
rekaan informasi, yang menyebabkan datanya tidak pelid lagi. Selain itu, teori-teori
tersebut tidak mampu menjelaskan mengapa peradaban mengalami perkembangan dan
perubahan, dan mengapa beberapa masyarakat yang berbeda memberikan respons
terhadap suatu tantangan secara berbeda pula. Teori-teori ini memang menarik,
tetapi sepenuhnya tidak menyakinkan. Meski teori ini banyak kelemahan, tetapi
sosiolog Muslim seperti Ibnuh Khandum meyakini bahwa teori siklus lebih tepat
untuk melihat perubahan sosial dalam sosial Islam. Bedasarkan analisisnya terhadap sejarah
Islam, ia menuliskan munculnya kerajaan islam, kemudian kerajaan tersebut
mengalami kemajuan. Tetapi sebagaimana hukum sejarah, kerajaan tersebut
kemudian mengalami kemunduran, begitu seterusnya.
3. Teori Dialektik
Teori ini
menjelasakan bahwa perubahan sosial merupakan gabungan dari teori linier, dan
siklus. Tokoh utama dari teori dialetik ini adalah Hegel. Tetapi Karl Marx-lah
yang berperan besar dalam mempopulerkan teori gagasan tersebut. Marx
beranggapan bahwa perjuangan kelas terjadi antara mereka yang memiliki
kepentingan untuk memilihara sistem reproduksi yang ada dan mereka yang ingin
menggantikannya dengan yang baru. Menurut Marx, sejarah perjuangan antar kelas
ini akan berlangsung terus menerus dan setelah satu kelas berhasil menguasai kelas
lainnya, maka siklus yang serupa akan berulang lagi. Ia juga beransumsi bahwa
masyarakat komunis pernah ada sebelum adanya feodalisme dan kafitalisme, yaitu
masyarakat yang tidak mengenal pembagian kerja, yang di dalamnya konflik
diganti dengan kerja sama. Sebaliknya, pemikiran Marx-pun mengandung benih
pendekatan linear karena gagasannya bahwa kapitalisme yang berkembang pesat
justru akan menimbulkan konflik yang semakin hebat antar kaum buruh dan borjuis, yang pada akhirnya kaum buruh
akan meraih kemenangan dan akan membentuk masyarakat terakhir yang dikenal
dengan komunis. Pandangan linear Marx juga tercermin dari idenya bahwa
negara-negara yang akan dijajah barat pun akan mengalami proses yang dialami
masyarakat Barat.
Tokoh klasik
lainnya memiliki padangan dialektik adalah Max Weber. Gagasan sikllusnya dapat
dilihat dari teorinya tentang tiga model wewenang, yaitu tradisional,
kharismatik, dan legal-rasional. Menurutnya, masing-masing wewenang akan
mengalami rutinisasi sehingga beralih kepada tahap wewenang berikutnya. Contohnya,
wewenang tradisional akan mengalami rutinisasi sehinga beralih menjadi wewenang
kharismatis, dan ini akan mengalami rutinisasi pula, sehinga beralih ke
wewenang legal-rasional. Wewenang inipun akan mengalami rutinisasi sehingga kembali
memunculkan wewenang tradisional, begitu seterusnya. Dilain pihak, Weber pun
melihat perkembangan linear dalam masyarakat, yaitu semakin meningkatnya
rasionalitas.
4. Teori Fungsional dan Konflik
Teori fungsional
dan konflik adalah dua grand theory
dalam sosiolagi yang selalu menjadi rujukan untuk menganalisis masyarakat.
Secara umum, kedua paradigma melihat unsur-unsur di masyarakat secara
bertentangan. Menyangkut perubahan ada beberapa perbedaan misalnya, meyakini
bahwa perubahan sebagai suatu keniscayaan. Perubahan juga bersifat kontans dan
alamiah, karena itu tidak perlu untuk mencari penjelasan. Perubahan dianggap
mengacaukan keseimbangan masyarakat, namun kekacauan itu hanya bersifat
sementara saja dan akan berhenti setelah perubahan tersebut terintergrasikan kedalam
kebudayaan setempat. Perubahan yang dianggap bermamfaat (fungsional) diterima dan perubahan lain yang terbukti tidak berguna
(disfungsional) ditolak. Sebaliknya
bagi teori konflik, yang konstans bukanlah perubahan, tetapi konflik itu sendiri.
Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena
konflik berlangsung terus menerus, maka perubahan pun akan berlangsung tiada
akhir. Perubahan berimplikasi munculnya kelompok dan kelas sosial baru. Konflik
yang terjadi antar kelompok dan antar kelas sosial akan melahirkan perubahan
berikutnya. Setiap perubahan tertentu menunjukkan keberhasilan kelompok atau
kelas sosial pemenang dalam memaksakan kehendaknya terhadap kelompok atau kelas
sosial lainnya.
Perubahan Sosial dalam perspektif fungsional
dan konflik
|
Teori fungsional
|
Teori
konflik
|
Masyarakat
|
Relatif stabil
|
Terus berubah
|
Masing-masing
Komponen Masyarakat
Menunjang
|
Kestabilan Masyarakat
|
Perubahan Masyarakat
|
Masing-masing Anggota
Masyarakat
|
Terintegrasi menuju
Terbentuknya Masyarakat yang Harmoni
|
Dalam ketegangan Dan
Konflik
|
Kestabilan
sosial
Tergantung
|
Konsensus
|
Tekanan pihak Tertentu kepada Yang lain
|
Sumber:
Paul
B.Harton dan Chester L. Hunt, sosiolgi, h. 211
D. Hubungan antara perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan
Teori-teori
mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan perbadaan antara
perubahan-perubahan sosial dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Perbedaan
demikian tergantung dari adanya perbadaan pengertian tentang masyarakat dan
kebudayaan. Apabila pengertian tersebut dapat dinyatakan dengan tegas, maka
dengan sendirinya perbedaan antara perubahan-perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan dapat dijelaskan. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup
semua bagiaannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan
seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan
organisasi sosial.
Ruang lingkup
kebudayaan lebih luas. Sudah barang tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang dapat
dipisahkan dari masyarakat, tetapi perubahan-perubahan dalam kebudayaan tidak
perlu memengaruhi sistem sosial. Seorang sosiolog akan lebih mamperhatikan perubahan
kebudayaan yang bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial, serta
memengaruhinya. Pendapat tersebut dapat dikembalikan pada pengertian sosiolog
tersebut tentang masyarakat dan kebudayaan.
Masyarakat,
menurut Kingsley Davis, adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar
organisasi-organisasi, dan bukan hubungan antara sel-sel. Kebudayaan dikatakannya
mencakup segenap cara berfikir, dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi
yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikir secara simbolis dan
bukan karena warisan berdasarkan keturunan. Apabila definisi kebudayaan dari
Tayler yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan setiap
kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, perubahan-perubahan
dari unsur-unsur tersebut.
Sebenarnya di
dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk menentukan letak garis
pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan karena tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin
kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Dengan demikian walaupun
secara teoritis dan analitis pemisah antara pengertian-pengertian tersebut
dapat dirumuskan, di dalam kehidupan nyata, garis pemisah sukar dapat
dipertahankan. Hal yang jelas adalah perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan
mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua bersangkut-paut dengan suatu
penerimaan cara-cara baru atau perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuahannya.
Pada dewasa ini
proses-proses pada perubahan-perubahan sosial dapat diketahui dari adanya
cirri-ciri tertentu, yaitu sbagai berikut.
1.
Tidak ada masyarakat yang berhenti
perkembangannya karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi
secara lambat atau secara cepat.
2.
Perubahan yang terjadi pada lembaga
kemasyarakatan tertentu, akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi sifatnya
interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada
lembaga-lembaga sosial saja. Proses awal dan proses selanjutnya merupakan suatu
mata rantai.
3.
Perubahan-perubahan soasial yang cepat
biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada
dalam proses penyesuaian diri. Disorganisasi akan diikuti oleh reorganisasi
yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-nilai lain yang baru.
4.
Perubahan tidak dapat dibatasi pada
bidang kebendaan atau bidang spiritual saja karena kedua bidang tersebut
mempunyai kaitan timbale balik yang sangat kuat.
E. Beberapa Bentuk Perubahan Sosial
dan Kebudayaan
Perubahan
sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai
barikut:
1.
Perubahan
Lambat dan Perubahan cepat
Perubahan-perubahan
yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat dinamakan evolusi. Pada evolosi perubahan dengan
sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu.Perubahan tersebut terjadi
karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaiakan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Retetan perubahan-perubahan tersebut
tidak perlu sejalan dangan retetan pristiwa-pristiwa di dalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan.
Sementara itu,
perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung dangan cepat dan
menyangkut dasar-dasar atau sandi-sandi pokok kehidupan masyarakat (yaitu
lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan “revolusi”. Unsur-unsur
pokok revolusi adalah adanya perubahan yang sangat cepat, dan perubahan
tersebut mengenai dasar-dasar atau sandi-sandi pokok kehidupan masyarakat. Di
dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih
dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan
revolusi, sebenarnya bersifat relatif karena revolusi dapat memakan waktu yang
lama.
Misalnya
revolusi industri di inggris, di mana perubahan-perubahan terjadi dari tahap
produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi mengunakan mesin. Perubahan
tersebut dianggap cepat karena mengubah sandi-sandi pokok kehidupan masyarakat,
seperti sistem kekeluaragaan, hubungan antara buruh dan majikan, dan
seterusnya. Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului oleh suatu
pemberontakan (revolt, rebellion)
yang kemudian menjelma menjadi revolusi. Pemberontakan peteni di baten pada
1888 misalnya, didahului dengan suatu kekersan, sebelum menjadi revolusi yang
mengubah sandi-sandi kehidupan masyarakat. Secara sosiologis, agar suatu
revolusi dapat terjadi, harus di penuhi syarat-syarat tertentu, antara lain
sebagai berikut.
a. Harus
ada keinginan umum untuk mengandakan suatu perubahan.
Dimana
dalam masyarakat, harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan dan suatu
keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.
b. Adanya
seorang pemimpin atau kelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat
tersebut
c. Adanya
pemimpin yang mampu menampung keinginan-keinginan
masyarakat
untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas tadi menjadi program
dan arah gerakan.
d. Pemimpin
tersebut harus dapat menunjukan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya tujuan
itu bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Di samping itu,
diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak, misalnya, perumusan ideologi
tertentu.
e. Harus
ada “momentum”, yaitu saat dimana segala keadaan dan faktor sudah tepat dan
baik untuk memulai suatu gerakan. Apabila suatu “momentum” keliru, revolusi
dapat gagal.
2.
Perubahan
kecil dan Perubahan besar
Agak
sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas karena
batas-batas perbedaan sangat relatif. Sebagai pegangang dapatlah dikatakan
bahwa perubahan-perunahan kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjdi pada
unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti
bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian, misalnya, tak akan membawa pengaruh
apa-apa bagi masyarakat secara keseluruhan karena tidak mengakibatkan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat. Sebaliknya, suatu proses
industrialisasi yang berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan
perubahan yang akan membawa pengaruh besar pada masyarakat. Berbagai lembaga
kemasyarakatan akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja, sistem milik
tanah, hubungan kekeluargaan, strafikasi masyarakat, dan seterusnya.
Kepadatan
penduduk di pulau jawa, misalnya, telah melahirkan berbagai perubahan dengan
pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit;
penganggur tersamar kian tampak di desa-desa. Mereka yang tidak mempunyai tanah
menjadi buruh tani dan banyak wanita dan anak-anak yang menjadi “buruh” potong
padi pada musim panen. Sejalan dangan itu, terjadi proses induvidualisasi milik
tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal tanah tidak seimbang
dengan kepadatan penduduk. Timbullah bermacam-macam lembaga hubungan kerja,
lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil dan seterusnya, yang pada pokoknya
bertujuan untuk mengambil memfaat yang besar mingkin dari sebidang tanah yang
tidak luas. Warga masyarakat hanya hidup sedikit di atas standar minimal.
Keadaan atau sistem sosial yang demikian oleh Cliffird Geertz disebut shared
poverty.
3.
Perubahan
yang Dikehendaki (Intended-Change) atau Perubahan yang direncanakan
(Planned-Change) dan Perubahan yang tidak dikehendaki (Unintended-Change) atau
Perubahan yang tidak direncanakan (Unplanned-Change)
Perubahan yang
dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang dipikirakan atau yang
telah direncanaka terebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan
perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan
agent of change, yaitu seorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Agent of change
memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent
of change langusung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan
perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan
selalu ada di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut.
Cara-cara memengaruhi masyarakat dengan sistem yang terktur dan direncanakan
terlbih dahulu dinamakan rakayasa sosial
(social engeneering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social
planning).
Perubahan sosial
yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar
pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang
tidak diharapkan masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut
berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan tersebut
mungkin mempunyai pengaruh demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang
dikehendaki. Dengan demikian. Keadaan tersebut tidak mungkin diubah tanpa
mendapat halangan-halangan masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain,
perubahan yang dikehendaki diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada atau membentuk
yang baru. Sering kali terjadi perubahan yang dikehendaki bekerja sama dengan
perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling memengaruhi.
Konsep perubahan
yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki tidak mencakup paham apakah
perubahan-perubahan tadi diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat.
Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima
oleh masyarakat. Bahkan para agent of change yang merencanakan
perubahan-perubahan yang dikehendaki telah memperhitungkan terjadinya
perubahan-perubahan yang tidak diduga (dikehendaki) dibidang-bidang lain. Pada
umumnya sulit mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan yang
tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak hanya merupakan akibat
dari satu gejala sosial saja, tetapi berbagai gejala sosial sekaligus.
Suatu perubahan
yang dikehendaki dapat timbul sebagai reaksi (yang direncanaka) terhadap
perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi sebelumnya, baik
perubahan yang dikehendaki maupun perubahan yang tidak dikehendaki. Terjadinya
perubahan-perubahan yang dikehendaki, perubahan-perubahan yang kemudian
merupakan perkembangan selanjutnya meneruskan proses. Bila sebelumnya terjadi
perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki, perubahan yang dikehendaki dapat
ditafsirkan sebagai pengakuan terhadap perubahan-perubahan sebelumnya agar
kemudian diterima secara lusa oleh masyarakat.
Perubahan yang
dikehendaki merupakan suatu teknik sosial yang oleh Thomas dan Znanieck
ditafsirkan sebagai suatu proses yang berupa perintah dan larangan. Artinya,
menetralisiskan suatu keadaan krisis dengan suatu akomodasi (Khususnya
arbitrasi) untuk mélagakan hilanganya keadaan yang tidak dikehendaki atau
berkembanganya suatu keadaan yang dikehendaki. Legalisasi tersebut dilaksanakan
dengan tindakan-tindakan fisik yang bersifat arbitrasi.
4.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Perubahan sosial dan kebudayaan
Untuk
mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari
terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam mengenai sebab
terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin dikarenakan adanya sesuatu yang
dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja perubahan terjadi karena
faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai ganti faktor yang lama itu.
Mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk
menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami
perubahan terdahulu.
Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletek di
dalam masyarakat itu sendiri dan ada leteknya di luar. Sebab-sebab yang
bersumber dalam masyarakat sendiri, antara lain sebagai berikut.
a. Bertambahnya atau Bekurangnya
Penduduk
Pertambahan
penduduk yang sangat cepat di pulau Jawa menyebabkan terjadinya perubahan di
dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga kemasyarakatannya. Misal,
orang lantas mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah,
bagi hasil dan selanjutnya, yang sebelumnya tidak dikenal.
Berkurangnya
penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari
daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk mengakibatkan
kekosongan, misalnya, dalam bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial,
yang memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk yang
telah berlangsung beratus-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu
sejajar dengan bertamba banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada masyarakat
yang mata pencarian utamanya berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang
tergantung dari persedian hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebut
habis, mereka akan akan berpindah ke tempat-tempat yang lainnya.
b.
Penemuan-penemuan
Baru
Suatu proses
sosial dan kebudayaan yang besar, tertapi terjadi dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama disebut dengan inovasi atau innovation. Proses tersebut meliputi
suatu penemuan baru, jalannya unsur-unsur kebudayaan baru yang tersebar ke
lain-lain bagian masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima,
dipelalajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat barsangkutan.
Penemuan-penemuan
baru sebagai terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam
pengertian-pengrtian discovery dan invention. Discovery adalah penemuan unsur
kebudayaan yang baru, baik barupa alat, ataupun yang berupa gagasan yang
diciptakan oleh seorang individu atau serangakai ciptaan individu.
Discovery baru
menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui, menerima serta menerapkan
panemuan baru itu. Sering kali proses dari discovery sampai ke invention
membutuhkan suatu serangkaian pencipta-pencipta. Penemuan mobil, misalnya,
dimulai dari seorang Austria, yaitu, S. Marcus (1875) yang membuat motor gas
yang pertama. Sebetulnya sistem motor gas tersebut juga merupakan suatu hasil
dari rangakaian ide yang telah dikembangkan
sebelum Marcus. Sungguhpun demikian, Marcuslah yang telah memulatkan penemuan
tersebut, dan yang untuk pertama kali menghubungkan motor gas dengan sebuah
kereta sehingga dapat barjalan tanpa ditarik seekor kuda. Itulah saatnya mobil
menjadi suatu discovery.
Jadi, 30 tahun
kemudian suatu rangkaian sumbangan dari sekian banyak pencipta lain yang
menambahkan perbaikan mobil tersebut, barulah sebuah mobil dapat mencapai suatu
bentuk sehingga dapat dipakai sebagai alat pengangkutan oleh manusia dengan
cukup praktis dan aman. Bentuk mobil semacam itu mendapat paten dari Amerika
Serikat 1911 dapat disebut sebagai pemulaan dari kendaraan mobil yang pada masa
sekarang menjadi salah satu alat yang amat penting dalam kehidupan masyarakat
manusia. Dengan tercapai bentuk tersebut, kendaraan mobil menjadi suatu
invention.
Pada saat
penemuan menjadi invention, proses inovasi belum selesai. Sungguhpun kira-kira
1911 produksi mobil dimulai, mobil belum dikenal oleh seluruh masyarakat.
Penyebaran alat pengangkut tersebut masih harus dipropagandakan kepada khalayak
ramai. Selain itu, biaya produksi mobil demikian tingginya sehingga hanya suatu
golongan sangat kecil saja yang dapat membelinya. Masih diperlukan serangkaian
penelitian lain dan penemuan-penemuan lain yang dapat menekan biaya produksi.
Suatu personalan lain yang juga harus dihadapi adalah apakah masyarakat sudah
siap menerimanya karena misalnya diperlukan pembuatan jalan-jalan raya yang
baru. Seluruh proses tersebut merupakan serangkaian proses inovasi dari sebuah
mobil.
Apabila ditelaah
lebih lanjut perihal penemuan-penemuan baru, terlihat beberapa faktor pendorong
yang dipunyai masyarakat. Bagi individu pendorong tersebut adalah antara lain:
1)
Kesadaran individu-individu akan
kekurangan dalam kebudayaannya;
2)
Kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan;
3) Perangsang
bagi aktivitas-aktivitas penciptaan dalm masyarakat.
Di dalam setiap
masyarakat tertentu ada individu yang sadar akan adanya kekurangan dalam
kebudayaan masyarakatnya. Di antara orang-orang tersebut banyak yang manerima kekurangan-kekurangan
tersebut sebagai suatu hal yang harus diterima saja. Orang lain mungkin tidak
puas dengan keadaan, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Mereka
inilah yang kemudian menjadi pencipta-pencipta baru tersebut.
Keinginan akan
kualitas juga merupakan pendorong bagi terciptanya penemuan-penemuan baru. Keinginan untuk
mempertinggi kualitas suatu karya merupakan pendorong untuk meneliti
kemungkinan-kemungkinan ciptaan baru. Sering kali bagi mereka yang telah
menemukan hal-hal yang baru diberikan hadiah atau tanda jasa atas jerih
payahnya. Ini juga merupakan pendorong bagi mereka untuk lebih bergiat lagi.
Perlu diketahui bahwa penemuan baru dalam kebudayaan rohaniah dapat pula
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan. Khususnya penemuan-penemuan baru
dalam kebudayaan jasmaniah atau kebendaan menunjukkan adanya berbagai macam
pengaruh pada masyarakat.
Pertama-tama,
pengaruh suatu penemuan baru tidak hanya terbatas pada satu bidang tertentu
saja, tetapi ia sering kali meluas ke bidang-bidang lainnya. Misalnya penemuan
radio menyebabkan perubahan-perubahan dalam lembaga kemasyarakatan seperti
pendidikan, agama, pemerintahan, rekreasi, dan seterusnya.
Kemungkinan lain
adalah perubahan-perubahan yang menjalar dari satu lembaga kemasyarakatan ke
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Di samping
penemuan-penemuan baru di bidang unsur-unsur kebudayaan jasmaniah, terdapat
pula penemuan-penemuan bidang unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya
ideologi baru, aliran-aliran kepercayaan baru, sistem hukum yang baru dan
seterusnya. Penemuan-penemuan baru yang oleh Ogburn dan Nimkoff dinamakan
social invention adalah penciptaan pengelompokan individi-individu yang baru,
atau penciptaan adat istiadat baru, maupun prilaku sosial yang baru. Akan tetapi,
yang terpenting akibatnya terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan akibat
lanjutnya pada bidang-bidang kehidupan lain. Misalnya, dengan dikenalnya
nasionalisme di Indonesia pada abad ke-20 melalui mereka yang mengalami
pendidikan barat, timbullah gerakan-gerakan yang menginginkan kemardekaan
politik yang kemudian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakat yang baru
dikenal, yaitu partai politik.
c. Pertentangan (conflict) masyarakat
Pertentangan (conflict) masyarakat mungkin pula
penyebab terjadinya perubahan sosial dan
kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan
kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok.
Umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan
didasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui,
tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, yang dalam hal-hal
tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan.
Pertentangan
antarkelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda.
Pertentangan-pertentangan demikian kerap kali terjadi, apalagi pada masyarakat
yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda
yang belum terbentuk kepribadiannya lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan
asing (misalnya kebudayaan barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang
lebih tinggi. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam
masyarakat, misalnya pergaulan yang masih bebas antara wanita dengan pria, atau
kedudukan mereka yang kian sederajat di dalam masyarakat dan lain-lain.
d. Terjadinya Pemberontakan atau
Revolusi
Revolusi yang
meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut telah terjadinya
perubahan-perubahan besar di Negara Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk
kerajaan absolut berubah menjadi diktator proletariat, mulai dari bentuk Negara
sampai keluarga batih, mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Suatu perubahan
sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari
liar masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut:
1) Sebab-sebab yang Berasal dari
Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia
Tejadinya gempa
bumi, topan, banjir besar, dan lain-lain mungkin menyebabakan masyarakat-masyarakat
yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat
tinggalnya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggalnya yang baru,
mereka harus menyesuaiakan diri dengan keadaan alam yang baru tersebut.
Kemungkinan hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatannya. Bagi suatu masyarakat yang mula-mula hidup dari
berburu, kemudian menetap di suatu daerah pertanian, perpindahan itu akan
melahirkan perubahan-perubahan dalam dari masyarakat tersebut, misalnya timbul
lembaga kemasyarakatan baru yaitu pertanian.
2) Peperangan
Peperangan
dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan karena
biasanya negara yang menang akan memaksakan kebudayaannya pada negara kalah.
Contohnya adalah Negara-negara yang kalah dalam perang dunia kedua seperti
jerman dan jepang mengalami perubahan-perubahan besar dalam masyarakat.
3) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain
Apabila
sebab-sebab perubahan bersumber pada masyarakat lain, itu mungkin terjadi
kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Hubungan yang
dilakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai kecenderung untuk
menimbulkan pengaruh timbal balik. Artinya, masing-masing masyarakat
memengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat
yang lain itu.
Namun, apabila
hubungan-hubungan tersebut berjalan melalui alat-alat komunikasi massa, ada
kemungkinan pengaruh itu hanya datang dari satu pihak saja, yaitu dari
masyarakat pengguna alat-alat tersebut. Sementara itu pihak lain yang hanya
menerima pengaruh tanpa mempunyai kesempatan memberikan pengaruh balik. Apabila
pengaruh dari masyarakat tersebut di terima tidak karena paksaan, hasilnya
dinamakan demonstration effect. Proses penerimaan pengaruh kebudayaan asing di
dalam antropologi budaya disebut akulturasi.
Di dalam dua
kebudayaan tidak selalu terjadi proses memengaruhi. Kadangkala pertemuaan dua
kebudayaan yang seimbang akan saling menolak. Keadaan semacam itu dinamakan cultural animosity. Cultural animosity
yang ada hingga kini adalah Surakarta dengan Yogyakarta yang dapat dikembalikan
pada 1755, kemudian perjanjian salatiga pada 1757. Pertemuan kedua kebudayaan
ini mula-mula di awali dengan pertentangan fisik yang kemudian dilanjutkan
dengan pertentangan-pertentangan dalam segi kehidupan lainnya. Sampai sekarang
corak pakaian kedua belah pihak tetap berbeda, demikian pula tari-tariannya, seni
musik tradisional, gelar-gelar kebangsawanan, dan seterusnya. Padahal mereka
berasal dari sumber dan dasar yang sama, yaitu kebudayaan khusus (sub-culture) Jawa.
Apabila salah
satu dari dua kebudayaan yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih
tinggi, maka yang terjadi proses imitasi, yaitu peniruan terhadap unsur-unsur
kebudayaan lain. Mula-mula unsur-unsur tersebut ditambahkan pada kebudayaan
asli. Akan tetapi, lambat laun unsur-unsur kebudayaan aslinya diubah dan
diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing tersebut.
5. Faktor-faktor yang Memengaruhi
Jalannya Proses Perubahan
a.
Faktor-faktor
yang Mendorong Jalannya Proses Perubahan
Di dalam
masyarakat di mana terjadi suatu proses perubahan, terdapat faktor-faktoryang
mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain
sebagai berikut:
1)
Kontak dengan kebudayaan lain
Salah satu
proses yang menyakut hal ini adalah diffusion.
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur dari individu kepada individu lain,
dan dari masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut, manusia mampu
menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah di hasilkan. Dengan terjadinya
difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima masyarakat dapat diteruskan dan
disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunia dapat menikmati kegunaannya. Proses
tersebut merupakan pendorong pertumbuahan suatu kebudayaan dan memperkaya
kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. Ada dua tipe difusi, yaitu pertama
difusi intramasyarakat (intrasociety
diffusion), dan kedua difusi antarmasyarakat (inter-society diffusion). Difusi intra masyarakat terpengaruh oleh
beberapa faktor, misalnya:
a)
Suatu pengakuan bahwa unsur yang baru
tersebut mempunyai kegunaan;
b)
Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang
memengaruhi diterimanya atau tidak diterimanya unsur-unsur yang baru;
c)
Unsur yang baru yang berlawanan dengan
unsur yang lama, kemungkinan besar tidak akan diterima;
d)
Kedudukan dan peran sosial dari individu
yang menemukan sesuatu yang baru tadi akan memengaruhi apakah hasil penemuan
itu dengan mudah diterima atau tidak;
e)
Pemerintah dapat membatasi proses defuse
tersebut.
Difusi
antarmasyarakat dipengaruhi oleh
beberapa faktor pula, yaitu antara lain:
a)
Adanya kontak antara
masyarakat-masyarakat tersebut;
b)
Kemanpuan untuk mendemonstrasikan
kemamfaatan penemuan baru tersebut;
c) Pengakuan
akan kegunaan penemuan baru tersebut;
d)
Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang
menyaingi unsur-unsur penemuan tersebut;
e)
Peranan masyarakat yang menyebarkan
penemuan baru di dunia ini;
f)
Paksaan dapat juga dipergunakan untuk
menerima suatu penemuan baru.
Pertemuan antara
individu dari satu masyarakat dengan individu dari masyarakat lain juga
memungkinkan terjadinya difusi. Misalnya hubungan antarindividu di mana bentuk
masing-masing kebudayaannya hampir-hampir tidak berubah. Hubungan demikian
dinamakan symbiotik. Cara lain yang mungkin pula dilakukan adalah pemasukan
secara damai (penetration pacifique).
Sebagai contoh, unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa oleh para pedagang
untuk kemudian dimasukkan ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak atau tanpa
paksaan. Akan tetapi, kadang-kadang penetration pacifique juga di lakukan
dengan sengaja, misalnya, usaha-usaha yang dilakukan para penyiar agama. Cara
lain adalah paksaan, misalnya menaklukkan masyarakat dengan peperangan.
Sebenarnya, antara difusi dan akulturasi terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan bahwa kedua proses tersebut memerlukan kontak. Tanpa kontok tidak
mungkin kedua proses tersebut berlangsung. Akan tetapi, proses difusi
berlangsung dalam keadaan di mana kontak tersebut tidak perlu ada secara
langsung dan kontinu, seperti difusi dari penggunaan tembakau yang tesebar di
seluruh dunia. Lain hanya dengan akulturasi yang memerlukan hubungan yang
dekat, langsung, serta kontinu (ada kesinambungan). Proses difusi dapat
menyebabkan lancarnya proses perubahan karena difusi memperkaya dan menambah
unsur-unsur kebudayaan, yang sering kali memerlukan perubahan-perubahan dalam
lembaga-lembaga kemasyarakatan, atau bahkan pengantian lembaga-lembaga
kemasyarakatan lama dengan yang baru.
2)
Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan
mengajarkan aneka macam kemampuan kepada individu. Pendidikan memberikan
nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pemikirannya serta
menerima hal-hal baru dan juga bagai mana cara berfikir secara ilmiah.
Pendidikan mengajarkan manusia untuk berpikir secara objektif, yang akan
memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudyaan masyarakatnya akan dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak.
3)
Sikap menghargai hasil karya seseorang
dan keinginan-keinginan untuk maju
Apabila sikap
tersebut melambang dalam masyarakat, masyarakat merupakan pendorong bagi
usaha-usaha penemuan baru. Hadiah nobel, misalnya, merupakan pendorong untuk
menciptakan hasil-hasil karya yang baru. Di Indonesia juga dikenal sistem
penghargaan yang tentu, walaupun dalam arti masih sangat terbatas dan belum
merata.
4)
Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan
yang menyimpang (deviation), yang
bukan merupakan delik.
5)
Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification)
Sistem terbuka
memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas atau berarti memberi
kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. Dalam
keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan
warga-warga yang mempnyai setatus yang lebih tinggi. Identifikasi merupakan tingkah
laku yang sedemikian rupa sehingga seseorang merasa berdudukan sama dengan
orang atau golongan atau golongan yang dianggap lebih tinggi dengan harapan
agar diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi dalam
hubungan superordinasi-subordinasi. Pada golongan yang berkedudukan lebih
rendah, acap kali terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial
sendiri. Keadaan tersebut dalam sosiolagi disebut ststus-anxiety menyebabkan
seorang berusaha untuk menaikkan kedudukkan sosialnya.
6) Penduduk
yang hetrogen
Pada masyarakat
yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang
kebudayaan ras ideologi yang berbeda dan seterusnya, mudah terjadinya
pertentangan-pertentangan yang mengundang kegoncangan-kegoncangan. Keadaan
demikian menjadi pendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
7) Ketidakpuasan masyarakat dalam
bidang-bidang kehidupan tertentu Ketidakpuasan yang
berlangsung terlalu lama dalam sebuah masyarakat kemungkinan besar akan
mendatangkan revolusi.
8) Orentasi ke masa depan
9) Nilai bahwa manusia harus
senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
b. Faktor-faktor yang Menghalangi
Terjadinya Perubahan
1) Kurangnya
hubungan dengan masyarakat lain
Kehidupan
terasing menyebabkab sebuah masyarakat tidak mengetahui
perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang
kemungkinan dapat memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal tersebut menyebabkan
para warga masyarakat terkungkung pola-pola pemikiran tradisi.
2) Perkembangan
ilmu pengetahuan yang terlambat
Hal ini mungkin
disebabkan hidup masyarakat tersebut terasing dan tertutup atau mungkin karena
lama dijajah oleh masyarakat lain.
3) Sikap
masyarakat yang sangat tradisional
Suatu sikap yang
mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau serta anggapan tradisi secara mutlak
tak dapat diubah menghambat jalannya proses perubahan. Keadaan tersebut akan
menjadi lebih parah apabila masyarakat yang bersangkutan dikuasai oleh
golonngan konservatif.
4) Adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests
Dalam setiap organisasi yang mengenal sistem
lapisan, pasti ada sekelompok orang yang menikmati kedudukan
perubahan-perubahan. Misalnya dalam masyarakat feodal dan juga masyarakat yang
mengalami trasisi. Dalam hal yang terakhir, ada golongan-golongan dalam
masyarakat yang dianggap sebagai pelopor masyarakat trasisi. Karena selalu
mengidentifikasikan diri dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya, sukar sekali bagi
mereka untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu proses perubahan.
5) Rasa
takut akan terjadi kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Memang harus
diakui kalau tidak mungkin integrasi unsur-unsur suatu kebudayaan yang bersifat
sempurna. Beberapa kelompok unsur-unsur tertentu mempunyai derjat integrasi
yang tinggi. Maksudnya unsur-unsur luar dikhawatirkan akan mengoyahkan
imtegrasi dan menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu
masyarakat
6) Prasangka
terhadap hal-hal yang baru atau asing atau sikap yang tertutup
Sikap yang
demikian banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang banyak dijajah
bangsa-bangsa barat. Mereka sangat mencurigai sesuatu yang berasal dari barat
karena tidak pernah bias melupakan pengalaman-pengalaman pahit selama
penjajahan. Kebetulan unsur-unsur baru
kebanyakan berasal dari barat, sehingga prasangka kian besar lantaran khawatir
bahwa melalui unsur-unsur tersebut penjajah bisa masuk lagi.
7) Hambatan-hambatan
yang bersifat biologis
Setiap usaha
perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah biasanya diartikan sebagai usaha
yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi
masyarakat tersebut.
8) Adat
atau kebiasaan
Adat atau
kebiasaan merupakan pola-pola prilaku bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi
segala kebutuhan pokoknya. Apabila kemudian ternyata pola-pola prilaku tersebut
efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat
atau kebiasaan yang mencakup bidang keparcayaan, sistem mata pencarian,
pembuatan rumah, cara barpakaian tertentu, begitu kokoh sehingga sukar untuk
diubah. Misalnya, memotong padi dengan menggunakan mesin akan terasa akibatnya
bagi tenaga karja (terutama wanita) yang mata pencariaan tambahannya adalah
dengan memotong padi dengan cara yang lama. Hal ini merupakan suatu halangan
terhadap introduksi alat pemotong baru yang sebenarnya lebih efektif dan
efisien.
9) Nilai
pada hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.
e. Proses-proses Perubahan Sosial dan
Kebudayaan
1.
Penyesuaian
masyarakat terhadap perubahan
Keserasian atau
harmoni dalam masyarakat (social
equilibrium) merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat.
Keserasian masyarakat yang dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling
mengisi. Dalam keadaan demikaian, individu secara psikologis merasakan akan
adanya ketentreman karena adanya pertentangan dalam norma-norma dan
nilai-nilai.
Setiap kali
terjdi gangguan terhadap keadaan keaserasian, masyarakat akan menolaknya atau
mengubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengam maksud menerima unsur
yang baru. Akan tetapi, kadangkala unsure baru dipaksakan maksudnya oleh suatu
kekuatan. Apabila masyarakat tidak dapat menolaknya karena unsur baru tersebut
tidak menimbulkan kegoncangan, pengaruh tetap ada, tetapi sikapnya dangkal dan
terbatas pada bentuk luarnya. Norma-norma dan nilai-nilai tidak akan
terpengaruhi olehnya dan dapat berfungsi secara wajar.
Adakala
unsur-unsur yang baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan memengaruhi
norma-norma dan nilai-nilai yang kemudianm barpengaruh pula pada warga
masyarakat. Itu berarti adanya gangguan yang kontinu terhadap keserasian
masyarakat. Keadaan tersebut berakti bahwa ketegangan-ketegangan serta
kekecewaan diantara para warga tidak mempunyai saluaran pemecahan. Apabila
ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan,
keadaan tersebut dinamakan penyesuaian diri (adjustment). Bila sebaliknya yang terjadi, maka dinamakan
ketidakpenyesuaian sosial (maladjustment)
yang mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
Sesuatu
perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Penyesuaian
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan menunjukan pada keadaan, di mana masyarakat
berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga
kemayarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial dan kebudayaan.
Sementara itu, penyesuian dari individu yang ada menunjukan pada usaha-usaha
individu untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
telah diubah atau diganti agar terhindar dari disorganisasi psikologis.
Dikenalnya kehidupan dan praktik ekonommi yang bersakl dari barat menyebabkan
semakin pentingnya peranan keluarga batih sebagai lembaga produksi dan
konsumsi.
Peranan
keluarga-keluarga besar atau masyarakat hukum adat semakin berkurang.
Kesatuan-kesatuan kekeluaragaan besar atas dasar ikatan atau kesatuan wilayah
tempat tinggal terpecah menjadi kesatuan-kesatuan kecil. Di minangkabau
misalnya, di mana menurut tradisi wanita mempunyai kedudukan penting karena
garis keturunan yang matriliniel, terlihat adanya suatu kecenderungan di mana
hubungan diantara anggota keluarga batih lebih erat. Hubungan antara anak-anak
dengan ayahnya yang semula dianggap tidak mempunyai kekuasaan apa-apa terhadap
anak-anak sebab ayah dianggap sebagai orang luar, cenderung menguat. Pendidikan
anak-anak yang sebelumnya dilakukan oleh keluarga ibu diserahkan kepada ayah.
Individu, agar tidak mengalami tekanan-tekananpsikologis, harus menyesuaiakan
diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Contoh lain
pernah dikemukakan oleh selo soemardjan sehubungan dengan digantinya bahasa
jawa (di Yogyakarta) yang mengenal sistem peningkatan bahasa dengan bahasa
Indonesia sebagai gejala yang mengikuti perubahan dari sistem lapisan tertutup
ke sistem lapisan terbuka. Juga perubahan-perubahan di bidang pemerintahan dan
administrasi yang menuju ke arah demokrasi. Individu berusaha mendapat
pendidikan yang lebih tinggi sebagai bekal hidup dalam suasana yang demokratis,
di mana kemampuan yang merupakan unsure terpenting untuk dapat bartahan.
2. Saluaran-saluran Perubahan Sosial
dan Kebudayaan
Saluran-saluran
perubahan sosial dan kebudayaan (avenue
or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu
proses perubahan. Umumnya saluaran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi,
dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi titik tolak, tergantung
pada cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga
kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari
masyarakat cenderung menjadi saluran utama perubahan sosial dan kebudayaan.
Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya karena lembaga-lembaga kemasyarakatan
merupakan suatu sistem terintegrasi.
Pada tanggal 17
agustus 1945, terjadilah prokalamasi kemerdekaan Indonesia, di mana pertama-tama
terjadi perubahan pada struktur pemerintahan, dari jajahan menjadi Negara yang
merdeka dan berdaulat. Hal ini menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya. Misalnya, dalam bidang pendidikan, tidak ada lagi diskriminasi antara
golongan-golongan, sebagai mana halnya pada zaman penjajahan. Setiap orang
boleh memilih pendidikan macam apa yang disukai. Perubahan tersebut berpengaruh
pada sikap pola prilaku dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Dengan singkat
dapatlah dikatakan bahwa saluaran tersebut dapat berfungsi agar sesuatu
perubahan dikenal, diterima, diakui, serta dipergunakan oleh orang banyak, atau
dengan singkat, mengalami proses instituteional-ization (pelembagaan).
3.
Disorganisasi
(Disintegrasi) dan Reorganisasi (Reintegrasi) Pengertian
a) Pengertian
Organisasi
merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan satu kesatuan
fungsional. Tubuh manusia, terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing
mempunyai fungsi dalam rangka hidupnya seluruh tubuh manusia sebagai satu
kesatuan. Apabila seseorang sedang sakit, bisa dikatakan salah satu bagian
tubuhnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi secara keseluruhan
bagian-bagian tubuh manusia merupakan keserasian yang fungsional.
Demikaian juga
kehidupan dalam sebuah kota, misalnya, merupakan suatu organisasi tersendiri.
Ada kegiatan membersikan kota pada waktu-waktu tertentu; jalan raya untuk
kebutuhan transfor, restoran, tempat rekreasi, sekolah, rumah penduduk, dan
seterusnya. Apabila salah satu bagian kota tadi tidak berfungsi, timbullah
ketidakserasian. Misalnya saja, jika ada jalan raya ada yang ditutup karena
rusak berat, lantas akan timbul kemacetan. Maka dapatlah dikatakan bahwa
disorganisasi adalah suatu keadaan di mana tidak ada keserasian pada
bagian-bagian dari suatu kebulatan. Misalnya dalam masyarakat, agar dapat
barfungsi sebagai organisasi, harus ada keserasian antarabagiannya.
Perlu ditegaskan
bahwa tidak hanya terdapat dua kutub yang berbeda atau berlawanan, yaitu
disorganisasi dan adanya organisasi karena disorganisasi mengenal pula
bermacam-macam derjat atau tahap-tahap kelangsungan. Disorganisasi tidak
terjadi karena semata-mata terjadi karena pertentangan-pertentangan yang
meruncing, seperti misalnya perperangan, tetapi dapat pula disebabkan karena
kemacetan lalu lintas umpamanya. Kedua hal itu mempunyai pengaruh yang berbeda
derajatnya. Kriteria terjadinya disorganisasi antara lain terletak pada
persoalan apakah organisasi berfungsi secara semestinya atau tidak baik. Suatu
mesin tik tertentu dikatakan bekerja
baik karena keserasian antar bagian di dalam melaksanakan fungsinya juga
bakerja lebih baik.
Masalah lain
yang sering kali timbul adalah disorganisasi dalam masyarakat acak kali
dihubungkan dengan moral, yaitu angapan-angapan tentang apa yang baik dan apa
yang buruk. Pemogokan buruh, misalnya, dianggap oleh golongan konservatif
sebagai perbuatan yang tidak baik padahal gejala tersebut bila dilihat dari
sisi lain tidak demikian halnya. Pemogokan
bisa saja dilihat sebagai saranan penyerasian antara hak dan kewajiban.
Jadi, disorganisasi tidak selalu menyangkut persoalan moral. Sebaliknya,
perbuatan yang immoral belum tentu merupakan disorganisasi, misalnya pada
sewaktu waktu sekumpulan tanggung mencuri di sebuah toko. Perbuatan tersebut
tidak mengakibatkan disorganisasi, tetapi merupakan perbuatan yang immoral dan
sekaligus merupakan dalik.
Sehubungan
dengan masuknya unnsur-unsur baru, di dalam tubuh suatu sistem soasial seperti
masyarakat, ada unsur-unsur yang menentukan sifatnya sistem sosial tersebut.
Yang tidak dapat diubah selama hidup oleh pihak mana pun saja. Seperti biji
jagung hanya dapat menumbuhkan sebuah pohon jagung. Maka, suatu lembaga
pemerintah misalnya, tidak dapat barubah menjadi night club.
Sistem sosial di
dalam pertumbuhannya mungkin memengaruhi diri sendiri sehinngga yang terjadi
bukanlah perubahan-perubahan inti, tetapi memengaruhi suasana masyarakatyang
melingkunginya. Misalnya pemerinyahan demokratis menjadi pemerintah otokratis
atau kapitalistis menjadi sosialistis. Sebaliknya menurut Sorokin, lingkungan
disekitar dapat mempercepat atau memperlambat pertumbuhan sistem sosial, bahkan
dapat menghancurkan sebagian atau seluruhnya, tetapi tidak mungkin berhasil
mengubah sifatnya yang pokok.
Teori Sorokin
dapat dimengerti dengan lebih jelas apabila di dalam meninjau suatu sistem
sosial diadakan pemisah antara pengertian bentuk dan tujuannya. Ada sistem
sosial yang bentuknya sesuai benar dengan tujuannya, missalnya suatu perusahaan
dangang yang mengambil bentuk perseroan terbatas, akan tetapi, ada sistem
sosial bentuknya tidak sesuai dengan dengan tujuaannya,mungkin karena di
sengaja atau juga karena tidak disengaja. Seperti misaslnya suatu kumpulan
sosial yang mempunyai tujuan politik. Di dalam semua itu, maka yang menetukan
corak serta sifat pokok suatu sistem sosial adalah tujuan bukan bentuknya.
Suatu
disorganisasi atau disintegrasi mungkin dapat dirumuskan sebagai suatu proses
pemudarannya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarkatan. Sementara
itu, reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu peruses pembentukan norma-norma
dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
telah mengalami perubahan.
Tahap
reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah
melembaga (institutionalized) dalam
diri masyarakat. Berhasil atau tidaknya proses pelembagaan (instutionalization) tersebut dalam
masyarakat mengikuti formula sebagai berikut.
Efektivitas
menanam merupakan hasil positif pengunaan tenaga manusia, alat, arganisasi dan
metodedi dalam menanamkan lembaga baru. Semakin besar kemampuan tenaga manusia
, alat-alat yang dipakai organisasi yang tertibnya dan sistem penanaman sesuai
dengan kebudayaan masyarakat makin besar pula hasil yang dapat dicapai oleh
usaha penanaman lembaga baru itu.
Akan tetapi,
setiap usaha untuk menanam suatu unsur yang baru pasti akan mengalami reaksi
dari beberapa golongan masyarakat yang merasa dirugikan. Kekuatan menentang
masyarakat, itu mempunyai pengaruh negatif terhadap kemungkinan keberhasilannya
dalam proses pelembagaaan (institutionalization).
Dengan
demikaian, jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan
menentang masyarakat besar, kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi
kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam
besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil, jalannya proses pelembagaan
menjadi lancer. Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang
berpengaruh positif dan negatif itu, orang dapat kelancar proses pelembagaan
dengan memperbesar efektivitas menanam dan atau mengurangi kekuatan menentang
masyarakat.
Perlu pula
diparhatikan bahwa penggunaan kekerasan untuk mengurangi kekuatan menentang
masyarakat biasanya malah memperbasar kekuatan tersebut. Hanya saja ada
kemungkinan bahwa kekuatan menentang tidak menjelma menjadi aksi keluar, tetapi
meresap ke dalam jiwa dalam bentuk dendam atau benci. Persaan-perasaan demikian
juga menghabat berhaasilnya proses pelembagaan.
Di samping
pengaruh positif dan negatif itu, ada pula pengaruh dari faktor ketiga, yaitu
faktor kecepatan menanam. Artinya adalah panjang atau pendeknya jangka waktu
menanam itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Semakin tergesaha-gesah
orang berusaha menanam dan semakin cepat pula meharapkan hasilnya, semakin
tipis efek pelembagaan dalam masyarakat. Sebaliknya makin tenang orang berusaha
menanam dan semakin cukup waktu yang
diperhitungkan untuk menimbulkan hasil dari usahanya, semakin besar hasilnya.
Efek kecepatan
usaha-usaha menanam tersebut sebenarnya tidak dapat dilihat tersendiri, tetapi
selalu harus dihubungkan dengan faktor efektivitas menanam. Apabila penambahan
kecepatan menanam desertai dengan usaha menambah efektivitas, hasil proses
pelembagaan tidak akan berkurang. Hasil tersebut akan berkurang apabila hanya
kecepatan menanam saja yang ditambah tanpa memperbesar efektivitasnya. Ekses
kejurusan yang sebaliknya tidak menguntungkan proses pelembagaan. Apabila
kecepatan menanam diulur-ulur sampai tidak ada batas waktunya sama sekali
kecenderungan pada efektivitas menananm menjadi berkurang, karena kurang atau
tidak ada dorongan untuk mencapai hasil.
b) Suatu Gambaran Mengenai
Disorganisasi dan Reorganisasi
Gambaran
mengenai disorganisasi dan reorganisasi dalam masyarakat pernah dilukisjan oleh
William. I. Thomas dan Florian Znaniecki dalam karya klasiknya yang berjudul
the polish peasant in Europe and amerika. khusus tentang on disorganization and
reorganization, mereka membentangkan pengaruh dari masyarakat yang tradisional
dan masyarakat yang modern terhadap jiwa setiap anggotanya. Watak atau jiwa
seseorang paling tidak merupakan pecerminan kebudayaan masyarakatnya.
Pada
masyarakat-masyarakat tradisional, aktivitas seorang sepenuhnya berada di bawah
kepentingan masyarakatnya. Segala sesuatu didasarkam pada tradisi dan setiap usaha untuk mengubah satu unsur
saja. Itu berarti bahwa sedang ada usaha untuk mengubah struktur masyarakat
seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci, tak dapat diubah dengan dratis
dan berjalan lambat sekali. perubahan dari suatu masyarakat tradisional menjadi
masyarakat yang modern akan mengakibatkan pula perubahan dalam jiwa setiap
anggota masyrakat itu.
Thomas dan
Zanniecki menggambarkan betapa para petani polandia yang pindah dari eropa ke
Amerika mengalami disorganisasi karena di tempat asalnya, mereka merupakan
bagian dari masyarakat yang tradisional dan di Amerika mereka berhadapan dengan
masyarakat modern yang mempunyai pola kehidupan yang berbeda. Timbullah disorganisasi,
misalnya dalam keluarga batih. Orang tua di eropa mempunyai pengaruh yang
sangat kuat terhadap anak-anaknya, tetapi di Amerika kekuasaan tadi menjadi
pudar dan melemah. Dan dalam reorganisasi, timbullah norma-norma baru yang
mengatur hubungan antara orang tua dengan anak-anak.
Apabila
disorganisasi terjadi dengan cepat, misalnya karena meletusnya revolusi. Maka
mungkin akan timbul hal-hal yang sukar untuk dikendalikan. Dengan demikian,
reorganisasi tidak dapat terjadi dengan cepat karena terlebih dahulu harus
menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kemungkinan akan terjadi suatu keadaandi
mana norma-norma lama sudah hilang karena disorganisasi tadi. Sedangkan
norma-norma baru belum terbentuk. Keadaan tersebut merupakan keadaan krisis
dalam masyarakat. Pada keadaan demikian dijumpai suatu anomie, yaitu suatu
keadaan di mana tak ada pegangan terhadap apa yang baik dan apa yang buruk
sehingga anggota-anggota masyarakat tidak mampu mengukur tindakan-tidakannya
karena batas-batas tidak ada. Anomie mungkin pula terjadi pada waktu suatu
disorganisasi meningkat ke tahap reorganisasi.
Suatu contoh
adalah norma-norma dalam lalu lintas, terutama di kota-kota besar di Indonesia,
umpamanya Jakarta, sopan satun lalu lintas yang secara minimal yang menyangkut
ketaatan seseorang pengemudi atau orang yang jalan kaki, pada
peraturan-peraturan lalu lintas salalu dilangar. Pada umumnya terlihat adanya
suatu kecenderungan untuk melanggar peraturan-peraturan tersebut, padahal
peraturan bertujuan untuk menjaga keselamatan masyarakat, termasuk para
pengemudi dan orang-orang yang berjalan kaki.hal itu paling tidak dapat
dijadikan suatu indeks terhadap keadaan sampai di mana disorganisasi masih
berlangsung dan apakah telah ada suatu reorganisasi.
c) Ketidakserasian Perubahan-perubahan
dan Ketertinggalan budaya (Cultural Lag)
Pada masyarakat
yang sedang mrngalami tidak selalu perubahan-perubahan pada unsur-unsur
masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan seimbang. Dikenalkan sejata api
dan kuda oleh orang-orang Indian dan Amerika serikat mengubah cara mereka
mencari makanan dan berperang. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
bidang-bidang kehidupan lain seperti agama yang disebarkan oleh penyair-penyair
agama kulit putih.
Ada unsur-unsur
yang dengan cepat berubah, tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk
berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih mudah berubah daripada
unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Apabila terdapat unsur-unsur yang tidak
mempunyai hubung-hubungan yang erat, tak ada persoalan mengenai tidak adanya
keseimbangan lajunya perubahan-perubahan. Misalnya, suatu perubahan dalam cara
bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tari-tarian tradisional. Akan
tetapi, sistem pendididkan anank-anak mempunyai hubungan yang erat dengan diperkerjakannya
tenaga-tenaga wanita pada industri, misalnya.
Apabila dalam
hal ini terjadi ketidakserasian, kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam
hubungan antara unsur-unsur tersebut di atas sehingga keserasian masyarakat
terganggu. Misalnya, apabila pertambahan penduduk berjalan dengan cepat, untuk
menjaga tata-tertib dalam masyarakat diperlukan pula penambahan petugas-petugas
keamanan yang seimbang banyaknya. Ketidakserasian mungkin akan menaikan
frekuensi kejahatan yang terjadi. Demikian pula bertambah banyaknya
sekolah-sekolah harus diimbangi dengan pertambahan lapangan kerja, apabila
terjadi ketidakseimbangan, maka mungkin timbul pengangguran dan seterusnya.
Sampai sejauh
mana akibatnya keadaan tidak serasi laju perubahan tersebut tergantung dari
erat atau tidaknya integrasi unsur-unsur
tersebut. Apabila integrasi unsure-unsur dalam masyarakat sangat erat seperti
halnya dengan bagian-bagian sebuah jam, ketidakserasian mempunyai akibat-akibat
yang sangat jauh. Kalau bagian-bagian dari sebuah jam tidak bekerja dengan
semestinya, jam itu tidak akan berfungsi dengan baik.
Suatu teori yang
dikenalkan di dalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat adalah teori
ketertinggalan budaya (cultural lag)
dari William F. Ogburn. Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan
kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhan seperti diuraikan
sebelumnya, tetapi ada bagian yang tumbuh cepat, sedangkan ada bagian lain yang
tumbuhnya lambat. Perbedaan antara taraf kemajuan dari berrbagai bagian dalam
kebudayaan dari suatu masyarakat dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan
kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju perubahan
dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai
korelasi, tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur yang
lainnya.
Suatu contoh
perihal pertambahan jumlah kendaraan bermotor dengan area jalan raya,
khususnya di Jakarta. Antara tahun 1971
sampai dengan 1979, jumlah kendaraan bertambah tiga kali, sedangkan area jalan
raya dari 837 km2 menjadi 1477 km2 yang berakti tak ada keseimbangan dalam
pertambahan kedua faktor yang saling
berkaitan itu.
Pengertian
ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti, Yaitu pertama
sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru. Misalnya,
pemerintah Amerika serikat dalam suatu brosur mengetengahkan mengenai
ketertingglan antara penemuan baru dengan penggunaan penemuan pengetehuan
tentang pengobatan. Yang antara lain barisi bahwa setiap tahun 40.000 orang
mati karena kanker, yang sebenarnya dapat dicegah, dan demikiandengan
orang-orang yang mati karena sakit jantung dan sebagainya.
Arti kedua
dipakai untuk menunjuk pada ketertingglan suatu unsur tertentu terhadap unsur
lainnya yang erat hubungannya, misalnya penduduk di kota-kota besar dan
banyaknya petugas-petugas keamanan yang diperlukan. Agar terjadi suatu
keserasian, salah satu unsur tersebut harus diubah, yaitu yang terkambat di
percepat perkembangannya, atau yang terlalu cepat diperlambat perkembangannya. Pilihan tergantung dari
kemungkinan-kemungkinannya. Misalnya dalam hubungan antara bertambahnya
penduduk di kota-kota besar dengan jumlah petugas-petugas keamanan, kiranya
kecil kemungkinannya untuk mengurangi penduduk, misalnya dengan jalan mengusir
penduduk dari kota tersebut.
Ketertinggalan
yang mencolok adalah tertinggalnya alam pikiran dengan perkembangan teknologi
yang sangat pesat, yang dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang
sedang berkembang seperti Indonesia ini. Suatu contoh nyata adalah pengunaan
komputer yang merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di
Negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh
peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak; aliran
listrik harus mempunyai tegangan tertentu, konstan, dan seterusnya. Ini belum
semuanya tersedia, misalnya aliran listrik
yang konstan. Hal itu dapat memacetkan komputer atau kalau rusak, untuk
memperbaiki belum tentu tersedia alat dan ahli yang cukup.
Tidak mudah
memang untuk mengatasi persoalan demikian. Paling tidak alam pemikaran manusia
harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pemikiran tradisional
ke pemikiran modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal,
misalnya sifat yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi
perubahan dan perubahan. Tekanan dari hal ini bukanlah teletak pada keahlian
dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam
pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang
barlangsung tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu, yaitu
berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin
terdidik seorang semakin terbuka dan semakin luas daya pikirannya. dia harus
menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang
mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang harus pula diperhatikan adalah bahwa
alam pikiran modern lebih berorientasi pada keadaan sekarang serta
keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadaan-keadaan yang telah lalu;
dan sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning) untuk
hari depan.
Kiranya
seseorang dengan alam pikiran modern, yakin bahwa manusia dapat belajar untuk
memanfaatkan dan menguasai alam sekeliling daripada bersikap pasrah atau pasif.
Seseorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya bahwa
orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat di andalkan dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban dan tangung jawabnya. Dia tidak setuju pada pendapat bahwa
segala sesuatu ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan sifat-sifat yang
khusus dari orang-orang tertentu.
Sehubungan
dengan itu timbul kesadaran akan harga diri orang-orang lain sehingfga dia
menaruh keseganan terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu
pengetahuan dan teknologi, walaupun dengan cara sederhana sekalipun. Hal itu
menimbulkan keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balasan jasa
diberikan kepada mereka yang betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar
kekeyaan atau kekuasaan yang dimilikinya. Itu semua terutama dapat dicapai
dengan pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir
secara ilmiah harus melembaga dalam diri manusia, terutama pada
masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang agar terhindar dari terjadinya
ketertinggalan budaya.
f.
Arah
Perubahan (Derection of Change)
Apabila
seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui kearah mana
perubahan dalam masyarakat itu bergerek. Hal yang jelas adalah perubahan
bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi, setelah meninggalkan
faktor itu, mungkin perubahan itu harus bergarak kepada sesuatu bentuk yang
sama sekali baru, munhkin pula bergarak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di
dalam waktu yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia yang bergerak kea rah
modernisasi dalam pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan
industrialisasi yang disertai dengan usaha untuk menumbuhkan kembali
kepribadian Indonesia merupakan contoh kedua arah yang berlangsung pada waktu
yang sama dalam masyarakat kita. Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah
perubahan termaksud, akan diberikan suatu contoh yang di ambil dari social
Changes in Yogyakarta.
Jauh sebelum
orang belanda datang ke Indonesia, orang jawa telah mempunyai lembaga-lembaga
pendidkan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita wayang, sering diceritakan bahwa
guru yang bijaksan, mengumpulkan kaum muda sebagai cantriknya di tempat
kediamannya serta mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya untuk dapat hidup
sebagai warga masyarakat yang baik. Centrik-centrik tersebut hidup bersama-sama
dengan guru mereka dalam pondok-pondok, di mana mereka bekerja untuk kelangsungan
hidupnya dan kehudupan gurunya, sambil menerima ajara-ajaran sang guru di
sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut berlangsung berabad-abad
lamanya, baik waktu pengaruh hindu, Buddha, maupun islam masuk, hingga kini.
F. Perubahan Sosial dalam Prespektif
Teori-teori Modern
Secara
epistemologis, teori modernisasi
merupakan campuran antara pemikiran fungsionalisme struktural dengan
pemikiran behaviorisme kultural Parsonian. Para pendukungnya memandang bahwa
masyarakat bakal berubah secara linier, yaitu perubahan yang selaras, serasi
dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai ke perubahan masyarakat
keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern. Pandangan teori modernisasi
semacam itu diilhami oleh pengalaman sejarah Revolusi Industri di Inggris yang
dianggap sebagai titik awal pertumbuhan ekonomi kapitalis modern dan Revolusi
Perancis sebagai titik awal pertumbuhan sistem politik modern dan demokratis.
Pertama, setelah
munculnya Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an
Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang
diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua.Kedua, pada
saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet
memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di
Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas
pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung
penyuburan ideologi komunisme.Ketiga, lahirnya negara-negara baru di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni
negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model
pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan
mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami
jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi
ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan
sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik
Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru
tersebut ke pangkuan Uni Soviet.
Teori
modernisasi berasal dari konsep-konsep dan metafora yang diturunkan dari teori
evolusi yang arah geraknya searah, linear, progresif dan perlahan-lahan.
Modernisasi juga dapat dikatakan sebagai proses homogenisasi dan terkadang
mewujud dalam bentuk lahirnya sebagai proses Eropanisasi atau Eropanisasi, yang
mengindikasikan bahwa modernisasi sama dengan Barat. Teori modernisasi juga
berasal dari pola pikir teori fungsionalisme yang menekankan keterkaitan dan
ketergantungan lembaga sosial, pentingnya variable kebakuan dan pengukur dalam
sistem budaya, dan adanya kepastian keseimbangan dinamis stasioner dari perubahan
sosial. Modernisasi dianggap sebagai proses sistematik, transformasi, dan
immanent (terus-menerus).
Teori ini
menganggap bahwa Negara terbelakang (Underdevelop
countries) akan mengambil langkah
yang sama seperti langkah Negara maju sehingga menjadi Negara berkembang
melalui proses modernisasi. Mereka menganggap negara non Barat adalah negara
terbelakang. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum
berkembang perlu megatasi masalah sehingga dapat mencapai tahap tinggal landas
(take off). Artinya, teori
modernisasi ini juga bisa disebut sebagai salah satu indikator yang termasuk
kedalam fenomena perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat. Bagaimana teori
ini mengajarkan masyarakat untuk berkembang dari bidang sosial, ekonomi, maupun
politik yang telah ada sebelumnya. Adapaun proses dari implikasi teori
modernisasi ini juga bisa lewat kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah. Misalnya dalam bidang ekonomi dan pembangunan.
Model
pembangunan tersebut percaya melalui efek tetesan ke bawah (trickle down effect), yakni bila terjadi
akumulasi kapital di kalangan kelas atas atau pusat, maka kapital itu akan
menetes ke bawah. Orang-orang di bawah akan “kecipratan” kekayaan ini, misalnya
dalam bentuk lapangan kerja yang diciptakan. Macam-macam konsumsi orang kaya
juga akan memberikan penghasilan bagi orang-orang di lapisan bawah. Karena itu
lewat mekanisme semacam itu pula perbaikan hidup rakyat pedesaan, yang
mayoritas miskin, diharapkan dapat terwujud. Peter Hagul misalnya mencatat: “Perbaikan
taraf hidup rakyat di pedesaan, seperti halnya perbaikan hidup rakyat pada
umumnya mula-mula diharapkan dari pembangunan ekonomi negara secara
keseluruhan.
Namun sejarah
menunjukkan bahwa “trickle down effect”
tidak mampu mengangkat kesejahteraan penduduk miskin. Suatu studi komprehensif
antar bangsa yang meliputi 74 negara yang dilakukan oleh Adelman dan Morris
(1978), menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan
dalam proporsi relatif pendapatan nasional yang diterima penduduk termiskin.
Dengan demikian efek tetesan ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi
justru penyedotan ke atas (trickle-up
ef-fect) atau malahan akan terjadi penyedotan produksi (production squeeze). Hal ini terjadi
karena program-program pembangunan direncanakan secara terpusat (top down), yang seringkali tidak sesuai
dengan masalah-masalah yang dihadapi dan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan
oleh masyarakat bawah yang menjadi tujuan pembangunan. Selain itu para
perencana dan penentu kebijakan yang menggariskan sasaran pembangunan dan
mengalokasikan sumber dana sering berada di bawah tekanan situasi untuk
memprodusir hasil kuantitatif dalam waktu yang singkat, sehingga mereka condong
menekankan sasaran-sasaran dari atas.
David Korten
memberikan analisis pendekatan pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan
sebagai berikut:
1.
Pertama, industri dan bukan pertanian,
padahal mayoritas penduduk dunia memperoleh mata pencaharian mereka dari
pertanian;
2. Kedua,
daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan, padahal mayoritas penduduk tinggal
di daerah pedesaan;
3.
Ketiga, pemilikan aset produktif yang
terpusat, dan bukan aset produktif yang luas, dengan akibat investasi-investasi
pembangunan lebih menguntungkan kelompok yang sedikit dan bukannya yang banyak;
4. Keempat,
penggunaan modal yang optimal dan bukan penggunaan sumberdaya modal yang
optimal, dengan akibat sumberdaya modal dimanfaatkan sedangkan sumberdaya
manusia tidak dimanfaatkan secara optimal;
5.
Kelima, pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan untuk mencapai peningkat kekayaan fisik jangka pendek tanpa
pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil-hasil sumberdaya ini, dengan
menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basis sumberdaya alami secara
cepat;
6. Keenam,
efisiensi satuan-satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan
didasarkan pada perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan
keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan-satuan skala kecil yang
diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang
tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan mudah mengalami
gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam bagian
sistem itu.
Teori
modern lainnya adalah teori sistem
dunis. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap reaksi terhadap teori
ketergantungan yang tidak mampu menjelaskan gejala pembangunan di Dunia Ketiga
dan hanya berhenti pada penjelasan tentang gejala keterbelakangannya. Teori
Immanuel Wallestein dimulai dengan proses terbentuknya sistem dunia. Menurtnya,
sebelium ada sistem dunia, dunia ini dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil atau
sistem-sistem kecil yang paling terpisah.
Kemudian terjadi
penggabungan akibat meluasnya kerajaan-kerajaan besar yang memiliki kekuatan
untuk menaklukan yang lain. Melaui kekuatan politiknya, kerajaan dunia ini
memerintah sistem-sistem kecil tersebut. Tetapi perkembangan teknologi
menyebabkan munculnya sistem dunia yang menyatu. Berbeda dengan kerajaan dunia
yang menguasai sistem-sistem kecil melalui kekuatan politik, maka sistem dunia
menguasai dunia dengan kekuatan pasar.
G.
Agama, Modernisasi, dan Sekulerisasi
Modernisasi dan
sekulerisasi ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Modernisasi,
yang menekankan pada rasionalisasi dan intelektualisasi, meniscayakan adanya
sekulerisasi. Lalu apa yang disebut sekurelisasi? Secara sederhana sekulerisasi
dipahami sebagai pemisahan agama dengan negara. Tetapi, realitasnya pengertian
sekurelisasi ini beragam tergantung sudut pandang dan latar belakang
pengetahuan dari aktor intelektualnya. Dalam pandangan para teolog Kristen
Katolik, sekurelisasi diartikan sebagai beralihnya fungsi dan peran gereja dari
pemuka agama kepada penguasa duniawi. Sementara itu, bagi kalangan teolog
Kristen Protestan, sekulerisasi berarti berpindahnya denominasi atau kontrol
kependetaan, hilangnya dimensi transendental, dan munculnya perlawanan kepada
teologi tradisional dan digantikan teologi tradisional dengan segala sesuatu
yang bersifsat temporal. Tak jauh berbeda, Thomas F’Odea mendefinisikan sekurelisasi
sebagai perubahan dalam cara berpikir yang menyangkut dua hal, yakni
desakralisasi terhadap orang dan benda dan rasionalisasi cara berpikir.
Namun berbeda
dengan pendapat di atas, George Jacob Halyoake, seorang humanis Inggris,
sekulerisme sebagai suatu paham yang berkaitan dengan kewajiban hidup manusia
di atas muka bumi ini yang didasarkan semata-mata pada
pertimbangan-pertimbangan manusiawi, dan dimaksudkan terutama untuk mereka yang
menganggap teologi yang ada tidak jelas atau tidak dapat diandalkan. Karena
penekanannya pada rasionalisasi, banyak sosiolog memprediksi bahwa modernisasi
akan menghilangkan peran agama di masyarakat. Eber, misalnya, mengakui bahwa
modernisasi memarginalisasi agama. Bahkan Dmitri menyebutkan bahwa “penerimaan terhadap
ilmu pengetahuan sebagai kekalahan Tuhan.”
Fakta menunjukan
bahwa Hindu, Budha, dan Islam sebagai agama yang tetap bisa hidup berdampingan
dengan modernisasi. Bahkan, agamawan Buddhis di Srilanka mengakui bahwa
modernisasi mengakibatkan perubahan pada cara pandang keagamaan mereka yang
tidak lagi abstrak dan aksetis, tetapi mampu merespon masalah sosial umatnya.
Rahib-rahib Buddhis di Thailand, misalnya, menerapkan konsep Buddhis dan
lingkaran hidup dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya dan kemudian
memberi simbol-simbol keagamaan pada pohon-pohon yang mereka tanam, sesuatu
yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya karena pandangan asketis mereka.
Begitu pula tradisi sati dalam tradisi Hindu yang kini tak lagi dilakukan
karena melanggar hak hidup kaum perempuan. Modernisasi juga terjadi dalam
masyarakat Muslim.
M. Amin Rais
dengan tegas menyatakan bahwa Islam dan sekulerisme tidak dapat dikompromikan
karena ada perbedaan yang signifikan antara Islam dan modernisme. Alasannya,
Islam berangkat dari iman pada Allah, sementara sekulerisme berangkat dari
sikap tidak peduli pada iman dan pada Tuhan. Bila muslim selalu mengaitkan
perbuatan manusia di dunia dengan pertanggung jawabannya di hadapan Allah di
hari akhirat nanti, maka sekulerisme tidak pernah mempertimbangkan hal itu.
Bila umat islam menekankan kebahagiaan
akhirat sebagai kebahagiaan sebenarnya, maka sekulerisme berpendapat bahwa
kemakmuran materil adalah kunci kebahagiaan masyarakat. Dengan kata lain, apa
yang di anggap oleh Islam sebagai alat, sebagai sarana, dipandang oleh
sekulerisme sebagai tujuan akhir.
Kritik
selanjutnya, modernisasi terutama hanya menggambarkan ciri-ciri masyarakat
modern dan tradisional dan kurang membahas proses peralihan dari satu tahapan
ke tahapan lainnya. Juga tidak pernah di jelaskan, apakah tahapan-tahapan yang
sering di kemukakan dalam konsep modernisasi sesungguhnya terjadi dalam
masyarakat, ataukah hanya merupakan tipe ideal saja? Kesimpulannya, pernyataan
bahwa sekulerisasi bagi masyarakat modern itu suatu keniscayaan dan bahwa
sekulerisasi itu meruntuhkan eksistensi agama patut ditanyakan, terutama bila
dikaitkan dengan realitas masyarakat Muslim. Alih-alih modernisasi dan
sekulerisasi memarginalisasi agama, itu justru mendorong bangkitnya
fundamentalisme dan reislamisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Oliver Roy dalam bukunya, the Failure of
Political Oslam, memetakan bagaiman kekecewaan Muslim terhadap modernisasi
yang diimpor ke dunia Muslim telah mengakibatkan menguatnya Islamisme. Karena
itu, Altaf Gauhar, intelektual Muslim dan juga editor sebuah jurnal populer, The Third World Quarterly, berpendapat
bahwa “ gagasan-gagasan muluk sekulerisme akhirnya kandas karena pemisahan
fundamental dalam tiga hal, yakni pemisahan-pemisahan antara agama dan negara,
antara kehidupan privat dan kehidupan publik, serta antara kebijaksanaan
nasional dan kebijaksanaan internasional.
H.
Perubahan Sosial dalam Perspektif Islam
Secara tekstual,
tidak banyak ayat Al-Qur’an ataupun hadis yang berbicara langsung tentang
perubahan sosial. Namun, bila dikaji secara teliti banyak metafor-metafor,
kisah-kisah maupun ayat-ayat yang menunjukkan pentingnya perubahan sosial dalam
Islam dan Rasullullah adalah contoh kongkrit bagaimana visi dan misi ideologis
Al-Qur’an yang mengandung makna perubahan itu diimplementasikan dalam kehidupan
umat.
Salah satu ayat
yang berbicara tentang perubahan sosial adalah surat al-Ra’d ayat 11, bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri.” Menurut Quraish Shihab, ayat ini secara nyata menekankan
bahwa perubahan sosial merupakan suatu kewajiban utama bagi mereka yang tak
ingin tertinggal.
Perbedaan antara
perubahan sosial di Barat dan Islam ditinjau dari :
1.
Dasar filosofis
Dasar filosofis
perubahan sosial di barat adalah tercapainya kebahagiaan manusia di dunia,
sementara bagi masyarakat islam adalah tercapainya keseimbangan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
2.
Teologis
Dasar teologis
perubahan sosial dalam islam adalah iman dan tauhid, baik yang dilakukan secara
individual ataupun kolektif. Karena tauhid pada realitasnya multi-makna,
sebagai pembebasan individual dan pembebasan sosial. Dalam kerangka pembebasan individual,
tauhid sebenarnya membebaskan individu dari bias-bias yang menghalangi manusia
untuk menerima kebenaran. Seperti arogansi, egoisme, dan kesombongan.
Dengan bertauhid secara benar, seorang
muslim akan mengubah perangai buruknya dan menjadi orang yang memiliki
self-confidence, terbuka untuk menerima kebenaran, kritis, rasional, jujur, dan
berani mempertanggung jawabkan perbuatannya.Sementara itu, tauhid dalam
pendekatan pembebasan sosial bermakna bahwa dengan bertauhid berarti muslim
akan memiliki kesalehan sosial yang terefleksikan dalam perilaku sosialnya.
Salah satu perilaku sosial muslim yang utama dalam konteks ini adalah bagaimana
umat islam mampu menjalankan fungsi kritis dan profetisnya dalam merespon
ketidakadilan di masyarakat.
3.
Motivasi
Konsepsi islam
tentang perubahan sosial secara esensial berakar pada misi ideologisnya untuk
menegakkan amr ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana tertera dalam ayat amr
bil-ma’ruf wa-al-nahy ‘an al-munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Kuntowijoyo menerjemahkan amr ma’ruf sebagai humanisasi dan
emansipasi, nahi munkar sebagai liberasi.karena keduanya dilakukan dalam
kerangka keislaman, maka keduanya diikat oleh transendensi. Dalam realitas
sosialnya, cita-cita humanisasi, liberasi, dan transendensi akan menjadi energi
dahsyat yang akan menggerakkan perubahan sosial.
Selain itu,
konsepsi Islam tentang perubahan sosial secara esensial berakar pada misi
ideologisnya untuk menegakan amr ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana tertera
dalam ayat amr bil-ma’ruf wa-al-nahy ‘an al-munkar (menganjurkan kebaikan dan
mencegah kemugkaran). Kuntowijoyo menerjemahkan amr ma’ruf sebagai humanisasi
dan emansipaso dan nahi munkar sebagai liberasi. Karena keduanya dilakukan
dalam kerangka keislaman, maka keduanya diikat oleh transendensi. Dalam
realitas sosialnya, cita-cita humanisasi, liberasi,dan transendansi akan
menjadi energi dahsyat yang akan menggerakan perubahan sosial.
Sejak awal
Alquran telah mengingatkan pentingnya umat bahu membahu dan memiliki solidaritas
yang tinggi untuk melakukan kritik sosial terhadap setiap kezaliman yang
menghambat perkembangan umat ke arah yang lebih baik. Rasulullah melukiskan
falsafah nahi munkar melalui perumpamaan berikut ini:
“Sekelompok
orang menumpang sebuah perahu, berlayar di laut dan membelah gelombang.
Masing-masing mendapatkan tempat duduk. Salah seorang dari musafir itu dengan
menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat sebuah lubang
di bawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andai saja para musafir itu
tak segera menahan tangannya dan mencegahnya dari berbuat demikian, tentu
mereka semua, termasuk si celaka itu, akan terancam tenggelam.”
Perumpaan
tersebut melukiskan perlunya masyarakat Muslim mencegah kemungkaran bersama.
Penguasa yang menindas dan melakukan kezaliman harus diperangi secara kolektif
agar perubahan ke arah yang lebih baik bisa terus direalisasikan. Perlunya
mengamalkan amal ma’ruf dan nahi munkar juga di dukung oleh Alquran 5: 79 yang
dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak merahmati umatnya yang mengabaikan
kewajiban untuk melarang orang lain dari berbuat kejahatan sebagaimana yang
dilakukan Bani Israel.
I. Rasulullah dan Perubahan Sosial :
Pendekatan Sosio – Historis
Meski tidak
banyak Alquran dan Hadis yang berbicara secara langsung dan gamblang tentang
perubahan sosial, Alquran memberikan banyak sekali ilustrasi tentang visi
rwvolusioner para Rasul yang mendobrak kezaliman dan melakukan perubahan dalam
lingkungan masyarakatnya. Selain Nabi Musa yang melawan kezaliman Fir’aun, Nabi
Muhammad merupakan contoh nyata bagaimana visi revolusioner Islam diwujudkan
dalam konteks transformasi soial.
Secara umum, ada
tiga model perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah, yakni merombak total
kehidupan pra-Islam (decontruction),
memperbarui tradisi dan sistem sosial yang sudah ada (reconstruction), dan memelihara dan melanjutkan sistem sosial dan
tradisi terdahulu (continuity).
Sementara metode dekonstruksi terbagi dua macam, yaitu perombakan yang
dilakukan secara langsung seperti hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, dan
perombakan secara berangsur-angsur.
Biasanya Rasulullah melakukan secara bertahap sehingga tidak membuat kaget
umatnya. Contoh paling tepat untuk metode ini adalah adalah hukum-hukum
berkaitan dengan keluarga. Tetapi karena ada perombakan yang evolusioner
itulah, banyak hukum keluarga dalam Islam masih terkesan akomodatif terhadap
sistem keluarga patriarkhal, yang dianut masyarakat saat itu.
Upaya perubahan
sosial yang dilakukan Rasulullah dapat dikategorikan ke dalam lima tipologi.
Pertama, perubahan pada sisi teologis dan politeis yang percaya pada banyak
Tuhan kepada monoteis, percaya pada hanya satu Tuhan. Kehidupan religius
masyarakat Arab pada masa Rasulullah memang memprihatinkan. Saat itu setiap
suku memiliki berhalanya sendiri. Paling tidak ada 360 berhala yang diletakan
di sekitar Ka’bah. Pandangan keagamaan mereka sangat sempit. Takhayul dan mitos
menjadi dasar kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Rasulullah hadir mengubah
pandangan teologis yang sempit itu dengan memperkenalkan ajaran tauhid.
Kedua,
menyangkut sistem kekeluargaan dari patriakhal yang mengutamakan laki-laki,
kepada bilateral atau parental yang memberikan akses dan kesempatan yang sama
bagi laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Dari catatan sejarah,
diketahui bahwa kondisi perempuan sebelum Islam memang sangat tertindas. Mereka
tidak dianggap sebagai manusia yang utuh. Perempuan tidak memiliki hak apapun,
bahkan sebaliknya menjadi milik yang diwariskan. Ini terjadi karena prespektif misiogonis
masih sangat kuat. Bahkan Umar sendiri pernah mengubur anak perempuannya, tak
lama setelah dilahirkan, kerena menganggap memiliki anak perempuan berarti
bencana. Rasulullah mengembalikan martabat dan hak-hak kemanusiaan perempuan
yang hilang, seperti hak untuk berpendapat, hak untuk memiliki kekayaan, hak
untuk berkarya, hak waris, dan lain-lain. Karena itu di masa Rasulullah,
dikenal perempuan-perempuan tangguh dan perkasa di ranah publik.
Perempuan-perempuan yang meski memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri
tetapi tetap menjaga moralitasnya, seperti Khadijah (pebisnis yang handal),
Aisyah (perawi hadis dan politikus yang mumpuni), dan Ummu Salamah.
Dalam hal
warisan, misalnya, Rasulullah mulai memperkenalkan hak anak perempuan untuk mendapat
warisan, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam hal soal
pernikahan, Islammembatasi laki-laki, semula bisa menikahi perempuan tanpa
batas, kemudian membatasi empat orang istri saja. Bila Rasulullah langsung
meminta para pelaku poligami untuk memilih satu orang saja dari sekian banyak
istri, sangat mungkin terjadi kekagetan dan resistensi. Perubahan yang
diperkenalkan Rasulullah tentu berimplikasi serius bagi kehidupan perempuan,
karena gagasan dan perjuangan Rasulullah sering disebut sebagai tokoh feminis
awal dalam Islam.
Ketiga,
rasulullah mengubah sistem yang hirarkis menjadi sistem yang menekankan
egalitarianisme. Masih ingat apa yuang dilakukan Rasulullah terhadap Bilal,
seorang budak? Rasulullah membebaskan Bilal pada saat sistem yang hirarkis dan
tradisis kelas begitu mengakar di masyarakat Arab. Visi egalitarian Rasulullah
juga ditunjukan ketika Abu Dzar bertengkar dengan Bilal dan memanggilnya, “Hai
anak dari perempuan hitam.” Rasulullah ketika itu murka dan menepuk bahu Abu
Dzar sambil berkata, “Terlalu, tidak ada kelebihanorang kulit putih atas kulit
hitam kecuali karena amal shaleh.” Teguran Rasulullah menyadarkan Abu Dzar dari
kesombongannya sehingga sejak saat itu ia mengubah perangainnya menjadi Muslim
yang tawadhu, rendah hati, dan selalu membela masyarakat yang tertindas.
Apa yang
dilakukan Rasulullah sejalan dengan ayat yang mengajarkan bahwa semua manusia
sama di hadapan Allah. Perbedaan itu hanya dinilai dari sisi ketakwaannya (Q.S.
49: 13). Ayat tersebut dengan jelas mematahkan semua superioritas baik yang
didasarkan pada ras, agama, kesukuan (keluarga) dan gender. Ayat tersebut juga
menunjukan bahwa kesalehan sosial sama pentingnya dengan kesalehan ritual.
Sistem sosial yang menekankan pada egalitirianisme ini menjadi salah satu
tujuan utama perjuangan Rasulullah.
Keempat,
perubahan lainnya yang diperjuangkan Rasulullah adalah mengganti sistem ekonomi
dari borjuis-kapitalis yang menekankan keuntungan sebanyak-banyaknya kepada
sistem ekonomi yang berkeadilan. Ilmuwan sejarah mencatat buruknya situasi
ekonomi pada masa sebelum kerasulan Muhammad. Struktur ekonomi kesukuan mulai
runtuh digantikan oleh struktur oligarki perdagangan. Sistem ini tumbuh akibat
keserakahan ekonomi bangsawan Mekah. Buruh dibayar murah bahkan para budak
dipaksa melayani majikannya. Para perajin juga mengalami hal yang sama, mereka
tidak mampu memperjuangkan nasibnya.
Kemudian
Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dan memperjuangkan nasib masyarakat
Arab yang mislin dan tertindas itu. Mengikuti petunjuk Alquran (Q.S.2: 275-278;
dan 30: 39), Rasulullah mulai melarang praktik riba yang sedang marak di
kalangan masyarakat Arab saat itu, Rasulullah juga melarang bisnis dalam bentuk
spekulasi untuk mencegah eksploitasi yang kaya kepada yang miskin, seperti
membeli padi sebelum menguning karena itu akan menguntungkan si kaya dan
berimplikasi eksploitatif bagi petani miskin. Penimbunan harta, membayar gaji
buruh murah, dan monopoli kekayaan sebagaiman yang dilakukan para kapitalis
dilarang (Q.S. 9: 34-35, 59:7). Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah
pernah berkata kepada Hazart bin Umar bahwa “Siapa saja yang menimbun barang, Allah mengutuknya dan
barangnya itu berhak diambil dari (pemilik)nya, dan dijual dengan harga yang
lebih murah dari harga biasa”.
Lebih jauh,
Rasulullah juga melarang pasar gelap, tengkulak dan perdagangan perantara
karena sering menimbulkan inflasi harga. Ibnu Taimiyah dalam sebuah tulisannya
menyebutkan bahwa “Nabi melarang orang kota yang mengetahui harga pasar untuk
menjadi agen dari orang luar kota yang ingin membeli barang-barang karena ia
mengetahui betapa diperlukannya barang tersebut sehingga memungkinkannya untuk
menaikan harga seenaknya.” Sistem ekonomi yang berorientasi keadilan yang
diperkenalkan Rasulullah berimplikasi luar biasa pada perubahan sosial di
masyarakat Arab, terutama terbangunnya lembaga-lembaga, kultur, dan etika
ekonomi yang berwajah humanis.
Kelima, mengubah
sistem tanggung jawab kolektif (kesukuan atau ashabiyah) menjadi tanggung jawab
individual. Kesukuan menjadi ujung tombak kehidupan bangsa Aran saat itu,
karena itu tata aturan kehidupan terbatas pada adat kesukuan yang tidak
tertulis. Kuatnya solidaritas dan keterkaitan pada kesukuan menyebabkan mereka
sulit untuk memahami orang di luar suku mereka. Mereka juga sangat bangga pada
leluhur. Implikasi negatif dari solidaritas kolektif ini adalah bila perasaan
perasaan kesukuan mereka tersinggung maka pertumpahan darah pasti terjadi dan
konflik sosial ini bisa berlangsung hingga beberapa generasi. Sistem kesukuan
itulah yang diubah oleh bertanggung jawab atas perbuatannya secara pribadi di
hadapan Allah.
Dari paparan di
atas, jelaslah bahwa misi utama Rasulullah di masyarakat Arab Jahiliyah adalah
mengemban tugas untuk mengusung perubahan. Mengubah mentalitas masyarakat
semakin dekaden menjadi masyarakat yang berperadapan Islami, sebagaiman
pernyataan Rasulullah: “Sesunggugnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak mulia.” Dan perubahan yang dilakukan Rasulullah menyangkut perubahan menyeluruh
meliputi perunahan struktural, kultural, dan interaksi sosial.
Kesimpulan
Suatu tujuan sosiologis berarti sorotan yang
didasarkan pada hubungan antarmanusia, hubungan antar kelompok serta hubungan
antar manusia dengan kelompok, di dalam proses kehidupan bermasyarakat. Di
dalam pola hubungan tersebut – yang lazim disebut interaksi sosial – anak dan
remaja merupakan salah satu pihak, di samping adanya pihak-pihak lain. Pihak
tersebut saling memengaruhi, sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian
tertentu sebagai akibatnya.
Proses
saling memengaruhi melibatakan unsur-unsur yang baik dan benar, serta
unsur-unsur yang di anggap salah dan buruk. Unsur-unsur yang lebih berpengaruh
biasanya tergantung dari mentalitas pihak yang menerima. Artinya, sampai di
manakah pihak penerima mampu menyaring unsur-unsur luar yang diterimanya
melalui proses pengaruh-memengaruhi.
Di dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan
remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi tersebut merupakan suatu kegiatan
yang bartujuan agar pihak yang dididik yang diajak. Kemudian mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut masyarakat. Tujuan pokok
dari adanya sosialisasi teersebut bukanlah semata-mata agar kaidah-kaidah dan
nilai-nilai diketahui dan dimengerti. Tujuan akhir adalah agar manusia
baersikap dan bertidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan nila-nilai yang berlaku
serta agar yang bersangkutan menghargainya.
Di dalam proses sosialisasi khususnya yang bertujuan
pada anak dan remaja, terhadap berbagai pihak yang mungkin berperan.
Pihak-pihak tersebut dapat disebut sebagai lingkungan-lingkungan sosial
tertentu dan pribadi-pribadi tertentu. Tujuan sosiologis lebih memusatkan
perhadian pada lingkungan ini tanpa mengaabaikan peran pribad i- pribadi yang
tidak mustshil menpunyai pengaruh yang lebih besar.
Di buku ini lebih menyoroti peranan berbagai
lingkungan sosial di dalam memengaruhi tumbuhnya motivasi dan keberhasilan
studi anak dan remaja. Kiranya jelas ada pengaruh yang menunjang dan adanya yang
menghalangi; kedua-duanya akan ielas dengan mengungkap peranan yang diharapkan
di lingkungan-lingkungan tersebut, dan
peranan yang nyata atau sesungguhnya yang terungkap dalam pola prilaku.
Lingkungan-lingkungan yang akan disoroti adalah:
a.
Orang
tua, saudara-saudara, dan kerabat dekat;
b.
Kelompok
sepermainan;
c.
Kelompok
pendidik (sekolah).
Sudah tentu perlu dicatat bahwa
lingkungan-lingkungan tersebut di atas juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial
yang lebih besar, seperti misalnya, lingkungan tertangga, lingkungan kerja,
lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat, dan bagian-bagiannya, maupun
negara sebagai lingkungan sosial-ekonomi-politik. Lagi pula perlu dicatat lagi
bahwa tulisan ini hanya hanya menbatasi pembahasan pada keadaan di kota-kota
besar. Hal-hal yang dicatat ini didasarkan pada bahan-bahan yang di perleh dari
hasil pengamatan secara tidak terlibat.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas,
penulis menyarankan untuk lebih mengembangkan pemahaman tentang Ilmu Sosial
yang lebih mengarah pada suatu yang nyata, di mana dalam kehidupan sekolah atau
bermasyarakat anak didik dan remaja mampu dan memahami kaidah-kaidah dan
nilai-nilai yang baik dan yan buruk dan sebagai mana yang diharapkan anak dan
remaja bisa menerakapkan sekaligus memisah perbuatan yang harus dilakukan dan
tidak baik untuk di lakukannya.
Daftar Pustaka
Soekanto, Suryono, 2013. Sosiologi suatu pengantar.
Jakarta:Rajawali Pers.
Razak, Yusron. Sosiologi sebuah pengantar. 2013.
Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama.
Sztompka, Piotr, 2007. Sosiologi perubahan sosial.
Jakarta: Prenada